
Hari ini, Kamis (4/9/2025), Kota Probolinggo genap berusia 666 tahun. Probolinggo—dari Banger yang tercatat dalam peta abad ke-18 hingga kotapraja di masa kolonial—menyimpan sejarah panjang, konflik kerajaan, hingga pergantian kekuasaan yang membentuk wajahnya kini. Hari jadi kali ini bukan sekadar perayaan, tapi perjalanan waktu yang menegaskan: Probolinggo adalah saksi hidup sejarah Jawa.
S. Adi Wardhana, Probolinggo
Senja di awal September selalu punya makna tersendiri bagi warga Probolinggo. Rabu (3/9/2025) sore itu, Wali Kota dr. Aminuddin bersama jajaran pemerintah kota berjalan pelan di pemakaman Kauman.
Di sana, di antara nisan sederhana dan taburan bunga, bersemayam para pemimpin yang pernah menakhodai kota di tepi pantai utara Jawa ini.
Ziarah makam menjadi agenda rutin jelang Hari Jadi Probolinggo, sebagai tanda hormat bagi para pendahulu.
Esok harinya, 4 September 2025, Probolinggo resmi berusia 666 tahun.
Angka yang bukan sebatas bilangan, tapi simbol perjalanan panjang sebuah kota yang lahir dari riwayat hutan, peperangan, hingga perebutan kuasa kerajaan besar di Jawa.
Tahun ini, hari jadi itu diusung dengan tagline unik: Deddinah 666 Probolinggo Kotttah.
Dari Banger ke Probolinggo
Sejarah Probolinggo bermula dari nama Banger.
Catatan perjalanan Prabu Hayam Wuruk pada 4 September 1359 menyebut kawasan ini sebagai wilayah penting di pesisir.
Kala itu, ia memerintahkan pembukaan hutan di sekitar Sungai Banger. Tanggal itu pula yang kemudian ditetapkan sebagai hari lahir kota.
Wilayah ini menjadi saksi konflik besar. Pada 1404, Perang Paregreg meletus perangkat saudara.
Majapahit dibawah pimpinan Prabu Wikramawardhana menghadapi pemberontakan Bre Wirabhumi, penguasa Blambangan.
Dua tahun kemudian, Majapahit di bawah Wikramawardhana menang, menandai babak baru Banger.
Tapi riwayat kerajaan-kerajaan di Jawa terus bergulir: Demak, Pajang, hingga Mataram Islam silih berganti menguasai kawasan ini.
VOC Belanda masuk pada abad ke-18 dan mengangkat Kyai Djojolelono sebagai bupati pertama.
Lalu, pada 1770, Raden Tumenggung Djojonegoro mengubah nama Banger menjadi Probolinggo—berarti sinar berbentuk tugu.
Nama di Peta Eropa
Jauh sebelum itu, cartographer Eropa telah menandai daerah ini dengan nama lain.
Samuel Tornton (1711), Hendri Abraham Chatelain (1719), hingga Gerard van Keulen (1728) menuliskannya sebagai Caleba atau Beleba.
Francois Valentijn bahkan menyebut Baleba dalam karya monumentalnya Oud en Nieuw Oost Indie.
Pegiat sejarah Probolinggo, Edi Martono, menduga sebutan itu lahir dari bahasa lokal—“Kali Banger” yang dilafalkan menjadi Caleba, atau dari istilah di Sulawesi Tengah: Baleba, yang berarti angin timur kencang.
Nama-nama asing itu merekam bagaimana Probolinggo sudah masuk peta dunia sejak ratusan tahun lalu.
Dari Kotapraja ke NKRI
Memasuki abad ke-19, Probolinggo sempat dijual oleh Daendels kepada pedagang kaya Han Tik Ko karena kas pemerintah kolonial kosong. Selama tiga tahun, ia menjabat bupati.
Setelah kekuasaan berpindah ke Inggris, lalu kembali lagi ke Belanda, Probolinggo akhirnya masuk ke dalam sistem kolonial modern.
Tahun 1918, Probolinggo ditetapkan sebagai gemeente atau kotapraja.
Alasannya jelas: wilayah ini punya kekuatan keuangan dari pelabuhan, gula dari hinterland subur, serta populasi Eropa yang membutuhkan fasilitas pendidikan dan layanan publik.
Status itu membuat Probolinggo berbeda dibanding banyak kota lain di Jawa.
Namun, sejarah kembali berputar. Jepang merebut Jawa pada 1942, sebelum Indonesia akhirnya memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
Sejak saat itu, Probolinggo resmi menjadi bagian dari Republik Indonesia.
Hormat pada Pendahulu
Perayaan Hari Jadi Probolinggo kini bukan sekadar pesta. Ziarah ke makam para wali kota terdahulu menjadi refleksi, bahwa perjalanan 666 tahun ini bukan datang tiba-tiba.
“Sebagai generasi penerus, kita harus menghargai apa yang sudah dilakukan sesepuh pemimpin kota,” kata Wali Kota Aminuddin.
Ia juga berjanji memperbaiki nisan makam-makam tersebut sebagai bentuk penghargaan.
Keluarga para almarhum menyambut dengan haru. Ester Banuwati, putri mantan Wali Kota Soeprapto, mengaku bangga ayahnya masih dikenang. Begitu pula keluarga almarhum Koentjoro Soehadi dan HM Soufis Subri.
Bagi warga, angka 666 bukan angka mistis. Ia simbol perjalanan panjang sebuah kota, dari hutan di tepi Sungai Banger, peta para penjelajah Eropa, hingga kini berdiri sebagai bagian dari republik.
Probolinggo bukan sekadar kota, ia adalah riwayat panjang tentang daya tahan, pergantian kuasa, dan kerja keras manusia yang menempatinya.