“Rakyat tahu penguasa itu tabiatnya naudzu billah. Tapi tetap dipilih lagi. Ini seperti orang wayuh sama rondo toxic. Disakiti berkali-kali, tapi masih dipertahankan.”
Oleh : Abdur rozaq
Warung kopi Cak Sueb ramai sore itu. Orang memang sudah budrek oleh berbagai prank yang dilakukan oleh orang-orang yang mereka pilih saat pemilu dulu. Salah siapa, memilih penguasa kok berdasarkan tebal tipis amplop serangan fajar. Suara motor lalu lalang jadi backsound alami. Memang tak semerdu lagu Gemu Fa Mi Re yang mengiringi jogetan anggota DPR kala itu, namun tak terkesan menghina. Di meja panjang, sudah ada tiga orang langganan: Wak Takrip, Mahmud Wicaksono, dan tentu saja Cak Paijo LSM.
“Assalamualaikum, para dewan ngopi,” sapa Gus Karimun, yang baru datang dengan motor Supra yang dibeli dari uang halal, bukan hasil gratifikasi, percolongan atau kongkalikong aturan agar bisa mengatur sendiri besaran gaji dan tunjangan.
“Waalaikum salam,” jawab kawan-kawannya di lincak warung.
“Pas banget sampeyan datang, Gus,” kata Mahmud Wicaksono sambil meletakkan HP-nya. “Kami rundingan peringatan Maulid Nabi, tapi ujung-ujungnya malah debat soal konsumsi.”
“Halah, seperti penguasa saja. Yang dinomor satukan kok makanan tok,” celetuk Gus Karimun berkelakar.
“Harusnya yang dibahas pertama itu dana, sama calon peneceramah. Kita rekomendasikan penceramah yang jos. Yang kalau ceramah lebih banyak ilmiahnya daripada guyon, apalagi mengagung-agungkan golongan atau nasabnya sendiri.” Gus Karimun kemudian tertawa, memberi sinyal kalau ia tidak terlalu serius.
Cak Sueb yang sibuk mengaduk kopi nyeletuk “Makanya saya sering mikir, kita itu datang ke Maulid bukan ikhlas niat ngaji, tapi bisa jadi cari panganan sekaligus hiburan. Blaen.”
“Ya, itu kan karena kita meneladani para penguasa kita,” celetuk Cak Paijo LSM.
“Yang paling bikin jamaah gelisah itu kalau penceramahnya terlalu banyak curhat dan berkelakar. Dijadwal 45 menit, molor jadi dua jam. Jamaah sudah gelisah, anak-anak main petasan di belakang, bapak-bapak mulai melirik jam tangan, tapi penceramahnya masih cerita pengalaman pribadi, atau berkelakar bertema dewasa.” Ujar Wak Takrip.
“Kalau ceramah panjang tapi berisi, orang betah. Tapi kalau panjang isinya muter-muter, jamaah lebih memilih pulang. Nonton Youtube,” sambung Cak Manap.
“Ya ndak apa-apa,” lerai Gus Karimun. “Umat ini sudah terlalu spaneng, jadi perlu sedikit hiburan. Kita ini sudah diuji dengan laep, pikiran kita lelah oleh dagelan politik para penguasa dan politisi, sudah senam jantung oleh prank pemblokiran rekening, perampasan tanah nganggur dan kenaikan pajak. Kita sudah dihina orang yang pernah ngemis suara saat pemilu, lalu tragedi yang hampir menghancurkan negara. Bahkan kini, malah ada drama saling tuduh siapa dalang kerusuhan.”
“Ceramah lucu itu jauh lebih baik dariapada ceramah yang mengkafirkan orang yang tak sepaham. Lebih baik daripada ceramah yang mengajak umat gelut demi politik, lebih baik daripada ceramah yang merasa paling ahli sorga. Umat perlu refreshing, sekaligus pengajian.” Ada benarnya juga Gus Karimun.
“Kita sering ribut soal konsumsi pengajian, soal sound systemnya, soal penceramahnya. Padahal inti dari pengajian Maulid Nabi itu bukan di situ. Inti maulid kan, kembali menghidupkan kenangan Nabi dalam ingatan kita yang sudah sering budrek ini. Maulid bisa mengingatkan kita kembali, jika Nabi Muhammad dijuluki Al-Amin, orang yang terpercaya. Barangkali saja, kita kembali bisa menanamkan sifat itu pada diri kita,” sambung Gus Karimun.
“Harusnya yang lebih sering ikut pengajian maulid itu para penguasa, gus.” Protes Cak Manap. “Barangkali mereka sembuh dari insomnia setelah mendengar sejarah Nabi. Kalau Nabi berjanji selalu ditepati, kalau penguasa sekarang? Kalau Nabi dititipi barang, dikembalikan utuh. Kalau penguasa dititipi anggaran, yang balik tinggal laporan fiktifnya.”
“Hush, jangan terlalu sarkas, nanti diborgol sampeyan!” Lerai Cak Paijo LSM.
“Lucunya,” kata Mahmud Wicaksono, “rakyat tahu penguasa itu tabiatnya naudzu billah. Tapi tetap dipilih lagi. Ini seperti orang wayuh sama rondo toxic. Disakiti berkali-kali, tapi masih dipertahankan.” Timpal Cak Paijo LSM.
Maka, mereka ngumpul di warung Cak Sueb yang sejatinya hendak rembugan masalah pengajian maulid, malah menjadi ajang ghibah para penguasa. Bisa jadi, dosa para penguasa itu habis karena diberikan kepada mereka yang ngerasani di warung kopi itu. Tapi, semoga dosa korupsi tak bisa diampuni, karena pelakunya harus mengembalikan apa yang dicolong dari rakyat.
*hanya fiksi belaka, tak ada niat untuk menyudutkan siapa pun