“Penguasa itu seperti orang mabuk. Kalau rakyat diam, mereka makin mabuk kekuasaan. Tapi kalau rakyat bersuara, nanti dianggap makar. Tugas kita juga bukan cuma demo, tapi juga menjaga agar perlawanan tetap bersih. Jangan sampai yang kita lawan korupsi, tapi yang memimpin demo justru dibayar George Soros.”
Oleh : Abdurrozaq
“Rasakno kowe,” sorak Mahmud Wicaksono seraya madep mantep ke layar HP. Ia sampai mengepalkan bogemannya ke lincak warung Cak Sueb. Ekspresinya geregeten seperti pecandu judol saat kalah berkali-kali. Ia kemudian menghantam meja. Gelas kopi bergoyang. Untung Wak Takrip sigap, langsung memegang meja supaya gelas-gelas kopi tidak tumpah.
“Lihat! Demontrasi sudah menular ke Nepal, Prancis, Filipina dan terakhir ke Australia. Dunia sekarang sudah terkoneksi lewat WiFi password colongan, jadi begitu ada yang obong-obong, langsung menjalar ke seantero dunia. Rakyat dunia yang menghadapi penguasa korup, arogan, dan hidup mewah, terinspirasi oleh rakyat Indonesia. Dari Pati, ke Prancis. Dari warung Cak Sueb, sampai ke kafe-kafe di Prancis sana. Rasakno, kapokmu kapan?” Mahmud Wicaksono ngamuk seperti kades kena OTT.
“Tapi ya, jangan asal demo. Ada aturanya, ada etikanya,” protes Cak Paijo LSM yang selalu berbeda pendapat dengan Mahmud Wicakosno.
“Demo boleh, tapi jangan sampai rakyat cuma jadi korban. Kita ini sering lupa, kadang demo malah dimanfaatkan elit politik buat rebutan kursi. Rakyat teriak-teriak, mereka yang dapat proyek. Jangan sampai begitu,” lanjut Cak Paijo LSM, padahal dia sendiri makelar demo. Kalau ada pabrik buang limbah ke sungai dan tidak bayar jatah preman ke lembaganya, ia akan mengerahkan massa.
“Halah Cak Paijo, sampeyan ini aktivis, tapi ngomongnya seperti petugas penataran P4. Rakyat lapar, rakyat muak, sampeyan masih mikir sopan santun. Lha para koruptor itu saat nyolong, saat kongkalikong menaikkan sendiri gajinya, saat anak istrinya pamer kekayaan, saat menyewa LC dengan uang percolongan, apa mereka nuwun sewu dulu sama jelata seperti kita?”
“Justru itu, Cak Mahmud, jangan sampai rakyat diperalat. Kalau demonya asal teriak, ujung-ujungnya rakyat pulang bawa lelah, elit pulang bawa proyek. Itu yang harus kita cegah. Apalagi kalau sampai bakar-bakar aset negara, kan kita yang rugi? Uang pajak malah digunakan untuk renovasi, sedangkan renovasinya penuh proyek fiktif.”
“Dengaren sampeyan waras?” celetuk Mahmud Wicaksono membenarkan pendapat Cak Paijo LSM. Wajahnya kemudian sedikit tersenyum. Bukan untuk berdamai dengan Cak Paijo LSM, tapi agar tak sungkan saat mensabotase rokok Cak Paijo, yang mungkin dibeli dari uang syubhat hasil menakut-nakuti kades pemakan Dana Desa.
“Sampeyan berdua ini sama-sama benarnya,” ujar Gus Karimun menengahi. “ Cak Mahmud benar, rakyat memang sudah muak dan penguasa harus diingatkan. Cak Paijo juga benar, jangan asal demo, apalagi sampai merusak dan menjarah. Dan, sejarah perlawanan besar seringkali dimulai dari hal kecil. Dari obrolan di warung, dari poster sederhana, dari hati yang tidak tahan melihat ketidakadilan. Bisa jadi, ada yang pernah membaca tulisan Cak Mahmud Wicaksono di Warta Bromo, lalu gregeten dan ikut memviralkan ajakan protes drama permalingan yang sudah naudzu billah itu. ”
“Penguasa itu seperti orang mabuk. Kalau rakyat diam, mereka makin mabuk kekuasaan. Tapi kalau rakyat bersuara, nanti dianggap makar. Tugas kita juga bukan cuma demo, tapi juga menjaga agar perlawanan tetap bersih. Jangan sampai yang kita lawan korupsi, tapi yang memimpin demo justru dibayar George Soros.”
“Dan, kita juga harus cerdas. Sekarang kan, mulai kelihatan kalau demo kemarin banyak yang memanfaatkan. Ada yang sakit hati karena kalah pilpres, ada yang sakit hati karena bisnisnya diusik, ada yang dendam karena ormasnya dibubarkan, bahkan ada yang hanya ikut-ikutan gak ngerti kerepe.”
“Tapi, ya Alhamdulillah juga. Dari Pati, bisa juga dari obrolan kita begini ini, atau dari tulisan Cak Mahmud Wicaksono, akhirnya muncul trend mengingatkan pencuri, eh penguasa. Bahkan pada akhirnya, merembet ke berbagai negara. Ini mungkin sudah waktunya Cokro Manggilingan, mereka yang menindas mendapat pembalasan, mereka yang menjarah, mengalami penjarahan. Alhamdulillahnya lagi, demo di sini tak separah di Nepal. Tapi mungkin, kalau mereka masih ngeyel, tak mau mengesahkan RUU perampasan hasil colongan, menghalang-halangi RUU penangkapan para maling, saya khawatir rakyat hilang kesabaran.”
“Pokoknya, ayo saling menjaga, ayo perbanyak doa, ayo saling mengingatkan agar negara ini selamat. Kita ini tinggal buyarnya lho ya. Kalau tidak melakukan tobat nasional, era keemasan Nusantara bisa-bisa gagal untuk selamanya. Naudzu billah min dzalik.”
*Hanya fiksi semata, jika ada kesamaan nama dan peristiwa, mohon jangan dilaporkan