Probolinggo (WartaBromo.com) – Perayaan hari jadi Kota Probolinggo ke-666 terasa berbeda tahun ini. Stadion Bayuangga, Sabtu (20/9/2025) malam, berubah menjadi panggung besar yang memadukan seni, sejarah, dan gairah ekonomi kreatif.
Lewat Batik in Motion 2025, pemerintah kota berusaha menghidupkan kembali warisan lama, sekaligus menjadikannya lokomotif baru bagi pergerakan industri kreatif daerah.
Salah satu yang paling mencuri perhatian adalah hadirnya Batik Kanek Rembang, motif kuno yang diklaim sudah ada sejak masa kolonial.
Ketua Dekranasda Kota Probolinggo, dr. Evariani Aminuddin, menyebut batik ini pernah tercatat dalam koleksi yang dibawa pemerintah Belanda ketika menguasai Probolinggo.
“Kini, batik tersebut dilahirkan kembali dan menjadi ikon kebanggaan kota,” ujarnya.
Optimisme serupa disampaikan Evariani tentang keberlanjutan agenda tahunan ini. Baginya, Batik in Motion bukan sekadar pertunjukan seni, melainkan ruang baru bagi talenta muda.
“Harapannya, sektor kreatif ini bisa menjadi penggerak ekonomi, sekaligus membuka peluang bersaing lebih luas,” katanya.
Dukungan datang dari Ketua Dekranasda Jawa Timur, Arumi Bachsin Emil Dardak, yang hadir malam itu. Ia menilai kemasan Batik in Motion berhasil merangkul banyak pihak—pengusaha, budayawan, hingga desainer muda.
“Ada proses inkubasi yang menarik. Desainer junior mendapat bimbingan langsung dari desainer senior. Ini penting, sebab regenerasi perajin batik tak boleh putus,” ucapnya.
Arumi juga menekankan pentingnya mengawinkan budaya dengan strategi ekonomi. “Budaya tanpa ekosistem ekonomi tidak akan bertahan. Karena itu, melibatkan semua unsur sangat krusial,” katanya.
Malam puncak semakin hidup dengan drama musikal yang mengisahkan perjalanan Probolinggo sejak era Majapahit.
Dari padukuhan yang tenteram, pusat perdagangan, hingga masa perang saudara antara Minak Jinggo dan Patih Damar.
Fragmen sejarah itu dipadukan dengan peragaan batik karya pemuda-pemudi Probolinggo.
Puncak acara ditutup dengan parade busana rancangan desainer muda, diperagakan model lokal.
Sementara di luar stadion, ratusan stan UMKM, kuliner, dan galeri batik membuka ruang interaksi lain.
Masyarakat yang datang tak hanya menyaksikan pertunjukan, tapi juga berbelanja, mencicipi kuliner, sekaligus merayakan malam minggu bersama.
Batik in Motion, dengan segala kemasannya, menunjukkan bagaimana sebuah warisan lama bisa ditenun kembali menjadi energi baru
Membawa Probolinggo tidak hanya merawat budaya, tapi juga menapaki jalur ekonomi kreatif yang lebih menjanjikan. (adv)