“Sampaikan kepada para pengganti saya yang saat ini sedang menjabat, untuk membangun kembali museum, mensubsidi toko buku, membangun galeri seni, dan menghidupkan perpustakaan. Sebab di masyarakat yang maju, biasanya fasilitas-fasilitas seperti itu sangat diperhatikan. Bukan hanya memfasilitasi masyarakat dengan wifi gratis agar kalian tak hanya hidup di alam maya.”
Oleh : Abdurrozaq
Warng kopi Cak Sueb, secara dejure memang sudah tutup, tapi secara defacto belum. Pintu masih buka, lampu masih menyala, namun Cak Sueb sudah terkapar di lincak bambu pojok warung. Entah kenapa, Mahmud Wicaksono yang biasanya nocturnal, kini juga terkapar. HP nya masih menyala, memutar Youtube dari wifi colongan dari rumah Cak Paijo LSM. Tukang cukur kelewat kritis yang sampai dicurigai sebagai agen Mossad itu sepertinya enggan pulang. Seharian tak ada seorang pelanggan pun yang menggunakan jasanya mencukur rambut. Tak membawa uang setoran, ia takut untuk menghadap istrinya di rumah.
Maka, Gus Karimun dan lelaki tua misterius yang entah sejak kapan duduk di lincak warung itu semakin dalam berbincang. Jalanan juga entah mengapa begitu sepi, seakan lelaki tua berwajah teduh bermata tajam itu menggunakan ajian panglimunan, agar kehadirannya tak diketahui oleh orang banyak. Seraya berbincang, baik Gus Karimun maupun lelaki sepuh itu, sama-sama menunjukkan gestur yang saling memuliakan. Dalam bercengkrama, Gus Karimun memanggil lelaki tua itu dengan Mbah Dharmoyudho.
“Mbah, saya tidak tahu lagi harus mulai dari mana. Pasuruan, kota kita ini, sepertinya kehilangan arah. Dulu, saya mendengar cerita tentang Pasuruan yang penuh dengan adab, budaya luhur, dan semangat keagamaan yang tinggi. Tapi sekarang, saya lebih banyak mengangis daripada tersenyum saat merenungkan kota kita ini,” keluh Gus Karimun.
“Kota kita ini berada di jalur pantura, berada di jalur peradaban yang agung, bahkan diapit oleh kota-kota berperadaban lebih maju. Tapi entah kenapa, budaya berpengetahuan kita tidak ikut maju. Tidak ada museum yang bisa menampung jejak sejarah kita, toko buku pun sangat langka, dan galeri seni belum pernah ada sampai benda-benda seni tergusur oleh produk seni digital. Perpustakaan sepi, seolah masyarakat sudah tidak peduli lagi pada pengetahuan,” keluh Gus Karimun lagi, di malam yang kian larut.
“Tidak ada lagi yang bercerita tentang Mbah Semendi, Mbah Arif Segoropuro, Mbah Slagah, Mbah Surga Sugi, Mbah Untung Suropati, atau Mbah Abu Dzarrin. Seolah-olah kita tak memiliki tokoh-tokoh besar itu.”
“Tapi yang lebih menyedihkan, Mbah, Pasuruan yang dulu dikenal sebagai kota santri, kini malah menjadi tempat yang menakutkan. Tingkat kejahatan semakin tinggi, geng motor semakin berkuasa, narkotika merajalela, dan pesantren-pesantren yang seharusnya menjadi benteng moral malah ditinggalkan dan dipermalukan. Ada ulama yang mengingatkan kami tentang aturan berkarnaval dengan sound horeg, kami hujat seakan saat ini masih di tahun 1965.”
Mbah Dharmoyudho tersenyum kecut. Lelaki sepuh yang ternyata Bupati pertama Pasuruan itu kemudian berkata
“Ini memang sudah wolak-walike zaman, Gus. Di masa lalu, kita sangat menghargai nilai-nilai luhur. Tapi sekarang, masyarakat lebih sibuk dengan kehidupan sehari-hari, menganggap budaya dan adab sebagai hal yang tidak penting, bahkan menganggapnya kuno. Itu semua tanggung jawab kalian semua. Ulama, penguasa, para guru dan orang tua, meski mustahil, harus bekerja sama melestarikan yang masih tersisa. Setidaknya, pemerintah dan cendekiawan harus bertindak dengan hal paling kecil yang mereka bisa. Rawat makam-makam kami, telusuri sejarah kita, lalu catat dan umumkan. Bukannya kami ingin diingat, tapi demi agar kalian tak lupa jati diri. Tak lupa sangkan paraning dumadi, asal-usul dan tujuan hidupnya. Jika mereka tidak tahu dari mana mereka berasal, maka mereka tidak akan tahu kemana harus pergi.”
“Seperti tubuh yang kehilangan ruh, masyarakat Pasuruan kini telah kehilangan arah. Tidak ada lagi penghargaan terhadap para guru dan ulama yang dulu menuntun kita, seperti Mbah Semendi, Mbah Arif Segoropuro, Mbah Slagah, dan Mbah Surga Sugi yang tidak hanya menjaga adab, tetapi juga menjaga keluhuran hati. Mereka adalah cahaya yang seharusnya terus menerangi jalan kita.” Meski lebih sepuh dari para wali seperti Mbah Slagah dan Mbah Surga Surgi, Mbah Dharmoyudho begitu hormat menempatkan mereka.
“Zaman, semakin lama memang semakin gelap. Kejahatan lebih kompak daripada kebaikan, dan itu adalah cermin dari kebingungan moral yang menguasai banyak orang. Para pemuda yang kita harapkan menjadi penerus perjuangan luhur, malah terjebak dalam geng motor, narkotika, dan tindakan kriminal lainnya.”
Gus Karimun tersentak. Bagaimana mungkin Mbah Dharmoyudho bisa tahu istilah geng motor, padahal beliau hidup di abad ke 17? Namun, Mbah Dharmoyudho malah seakan tahu apa yang ada dalam benak Gus Karimun. “Kami yang di alam kubur, memang selalu memantau kalian yang masih hidup di dunia. Bahkan kami selalu mendoakan kebaikan atas kalian, anak cucu kami,” tegas Mbah Dharmoyudho.
“Saya juga sangat menyesal. Pesantren, yang seharusnya menjadi tempat untuk mencari kemurnian jiwa, malah dihina dan dipermalukan, padahal di dalamnya terkandung kebijaksanaan yang sangat dalam. Mereka yang meninggalkan pesantren, Gus, telah kehilangan jalan hidup yang sejati.”
Gus Karimun tertunduk, matanya memerah.
“Betul, Mbah. Pasuruan yang dulu dikenal dengan kota santri, sekarang malah menjadi kota yang menakutkan. Bahkan, mereka yang seharusnya menjadi penjaga moralitas, malah ikut terjerumus dalam kenikmatan duniawi dan kemaksiatan. Tidak ada lagi tokoh-tokoh seperti Mbah Untung Suropati yang bisa memberi petunjuk jalan, tidak ada lagi Mbah Abu Dzarrin yang menuntun kita dengan hikmah dan kasih sayang.”
Gus Karimun menatap Mbah Dharmoyudho dengan mata yang penuh harap seraya berkata “Apakah masih ada harapan, Mbah? “
“Harapan itu selalu ada, Gus,” ujar Mbah Dharmoyudho.
“Jika kita ingin Pasuruan kembali menjadi kota yang penuh cahaya, kita harus mulai dengan diri kita sendiri. Kita harus menghidupkan kembali ajaran-ajaran leluhur kita, menghargai setiap tradisi yang telah membentuk kita. Kejawen, tasawuf, dan ajaran para wali adalah jalan yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Itulah setitik jalan yang mungkin masih kalian usahakan.”
“Sampaikan kepada para pengganti saya yang saat ini sedang menjabat, untuk membangun kembali museum, mensubsidi toko buku, membangun galeri seni, dan menghidupkan perpustakaan. Sebab di masyarakat yang maju, biasanya fasilitas-fasilitas seperti itu sangat diperhatikan. Bukan hanya memfasilitasi masyarakat dengan wifi gratis agar kalian tak hanya hidup di alam maya.”
Mahmud Wicaksono tiba-tiba terbangun karena HP nya berdering. Sepertinya istrinya yang menelepon karena ia belum pulang hingga larut malam. Saat Gus Karimun menoleh kembali ke arah Mbah Dharmoyudho, lelaki sepuh itu sudah tidak ada. Entah pergi kemana.