Santri Probolinggo Suarakan Perlawanan Lewat Ilmu: Dari Genggong hingga Nurul Jadid, Marwah Pesantren Jadi Taruhan

34

Probolinggo (WartaBromo.com) — Terik matahari belum tinggi ketika halaman Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong mulai sesak oleh ribuan santri.

Berseragam putih dan berpeci hitam, mereka berdiri berbaris, khidmat, mengikuti apel peringatan Hari Santri Nasional ke-10, Rabu (22/10/2025).

Dari pengeras suara, suara lantang KH. Moh. Hasan Mutawakkil Alallah terdengar menembus barisan.

“Pesantren bukan sekadar tempat belajar agama,” ujarnya. “Ia adalah benteng peradaban. Karena itu, jangan ada yang berani merendahkan martabat pesantren.”

Nada bicaranya penuh semangat di kalimat terakhir. Di antara para santri, beberapa tampak menunduk khusyuk. Beberapa lainnya menatap lurus ke arah mimbar, seperti menyimak pesan yang tak sekadar seremonial.

Kiai Mutawakkil, yang juga Wakil Rais Syuriah Nahdlatul Ulama Jawa Timur, sedang menyinggung tayangan salah satu stasiun televisi nasional yang dinilai melecehkan kiai dan pesantren. Ia menyebut tayangan semacam itu mencederai nilai keilmuan dan moral bangsa.

“Pesantren telah lama menjadi penjaga akhlak masyarakat. Jangan biarkan ada yang mengaburkan peran itu,” kata Ketua MUI Jawa Timur tersebut.

Resonansi dari Nurul Jadid

Sekitar 20 kilometer ke arah timur, pesan yang sama menggema di halaman Pondok Pesantren Nurul Jadid. Di hadapan ribuan santri, Gus Moh. Imdad Robbani, Wakil Kepala Pesantren 1, berbicara dengan nada teduh namun berisi.

“Dulu pejuang berperang dengan senjata. Kini santri berjuang dengan ilmu,” katanya. “Kalau tidak sungguh-sungguh belajar, akan datang waktunya kita kecewa.”

Bagi Gus Imdad, santri masa kini tak lagi diukur dari keberaniannya di medan tempur, melainkan dari ketekunan menuntut ilmu dan keikhlasan mengabdi pada masyarakat. Ia menyebut perjuangan para ulama dan Rasulullah tidak pernah padam; hanya berganti bentuk.

“Ketika santri terjun ke masyarakat, apapun profesinya, sejatinya ia sedang melanjutkan perjuangan Rasul,” ujarnya.

Ia menutup amanatnya dengan ajakan: menjaga warisan perjuangan melalui pendidikan dan penguatan lembaga keagamaan. “Kita tidak lagi berperang, tapi berpikir ilmiah dan berakhlak mulia,” katanya.

Refleksi di Tengah Arus Zaman

Di dua pesantren besar itu, gema Hari Santri Nasional berubah menjadi refleksi panjang tentang posisi santri di era modern.

Bukan sekadar mengenang jasa para ulama, tetapi juga menegaskan komitmen: menjaga nilai pesantren di tengah arus perubahan dan komersialisasi budaya.

Dari Genggong hingga Nurul Jadid, pesan yang sama mengalun: santri tidak hanya membaca kitab, tapi juga membaca zaman. Dan di tengah bisingnya dunia digital, pesan itu terdengar lebih relevan dari sebelumnya. (saw)

Website with WhatsApp Message
Follow Official WhatsApp Channel WARTABROMO untuk mendapatkan update terkini berita di sekitar anda. Klik disini.