Konspirasi Motor Mbrebet

18

. “Saya juga baca beritanya. Kadang kita cepat menuduh karena kita marah. Tapi marah saja tidak memperbaiki mesin. Coba dulu kita cek, seberapa sering kita men-service motor kita? Kadang tangki bocor, filter mampet, tapi kita malah menuduh pemerintah.”

Oleh : Abdur Rozaq

Mahmud Wicaksono misuh-misuh karena motornya berkali-kali mati saat di-starter. Ia periksa tangki bensin, masih lumayan. Masih cukup kalau cuma dijadikan bom molotov untuk dilempar ke rumah mantan atau ke rumah koruptor. Ia kembali misuh-misuh karena setelah berhasil menyala, saat gas ditarik motornya kembali mati. Seperti karburator kotor atau bensin tersendat. Ya memang, ia men-service motornya kalau sudah benar-benar mogok. Tapi kan, baru tadi pagi motornya itu mbrebet. Semacam ada gangguan di karburator.

“Sampeyan isi pertamax apa pertalite, Mas?” Tegur Cak Paijo LSM di lincak warung Cak Sueb.

“Pertalite, cak, pertalite utangan,” jawab Mahmud Wicaksono kesal.

“Waduh, kena itu motor sampeyan. Pasti kena prank pertalite oplosan air karbit, itu.” Ujar Cak Paijo LSM tanpa tedeng aling-aling.

“Masa itu bukan hoax, cak? Timpal Mahmud Wicaksono sangsi.

“Lho, ini bukan gosip, Mas,” kata Cak Paijo sambil mengetuk layar ponselnya. “Lihat, berita dari IDN Times tanggal 30 Oktober. Ada 162 kendaraan di Jawa Timur mogok dan brebet setelah isi Pertalite. Itu bukan angka kecil! Dari 162 itu, 155 motor, 7 mobil. Lokasinya di 13 kabupaten dan kota, paling banyak di Bojonegoro ada 59 kendaraan, disusul Tuban 44. Ini sudah darurat bensin nasional.” Jelas Cak Paijo, aktivis LSM yang selalu bawa map lusuh yang penuh surat izin demo.

“Sejak beberapa hari lalu, video emak-emak ngamuk di SPBU viral di media sosial. Ia berteriak karena motornya mogok tak lama setelah isi bensin. Dari situ, publik geger. Timeline X dan Facebook penuh teori. Ada yang bilang Pertalite tercampur air, ada yang yakin isinya minyak goreng bekas, ada pula yang menuduh ini strategi licik biar rakyat pindah ke motor listrik.

Mahmud lalu meninggalkan motornya, duduk di lincak warung untuk meneguk kopi hitamnya. “Tapi hasil uji lab Lemigas dan Pertamina bilang, tidak ditemukan air di sampel Pertalite. Dua SPBU di Surabaya dan Gresik dicek langsung, hasilnya sesuai standar. Jadi bisa saja motor-motor itu yang bermasalah. Kadang rakyat terlalu cepat menuduh.”

Mahmud Wicaksono yang sejatinya menghidupkan motor untuk mencari utangan rokok ke toko Yu Markonah, akhirnya tak jadi. Toh, kalau sudah mengajak adu argumen begini, Cak Paijo LSM siap memberikan konsumsi, termasuk rokoknya. Boleh diampungi sepuasnya. Toh, Cak Paijo LSM sangat gampang cari uang. Tinggal silaturrahmi ke rumah Kades penggelap Dana Desa, kalau seratus dua ratus ribu bisa kecekel tangan. Apalagi, kan terlalu banyak Kedes bermasalah dengan Dana Desa?

“Waduh, ini bukan soal satu-dua motor, Mas Mahmud!” kata Cak Paijo keras. “Bengkel di Bojonegoro sampai kewalahan. Banyak motor injeksi baru tiba-tiba mogok bareng. Apa itu kebetulan? Kalau motor jadul ya wajar, tapi ini Scoopy, NMAX, Aerox semua brebet!”

Cak Sueb menaruh piring pisang goreng di meja. “Kalau takut Pertalite, ya pakai Pertamax saja,” ujarnya tanpa merasa berdosa.

“Lha, itu dia, Cak Sueb!” kata Paijo sambil menepuk meja. “Inilah cara halus kapitalisme. Pertalite kualitasnya dikurangi, biar rakyat terpaksa beli yang mahal. Ini seperti jual nasi setengah matang supaya orang beli nasi padang!”

“Ngawur! Jangan sembarangan, Cak, diborgol sempeyan,” kata Mahmud Wicaksono.

“Kalau menurutku, bukan bensinnya. Mungkin tangki motornya kotor. Aku dulu pernah nemu bangkai cicak di tangki, motorku brebet seminggu,” kata Wak Takrip.

“Wak, ini bukan soal cicak!” Ujar Cak Paijo hampir berdiri. “Ini soal kebijakan negara!”

“Ya, tapi sama-sama bikin mogok tho, Cak Paijo,” jawab Wak Takrip santai.

Cak Solikin bengkel tiba-tiba nimbrung “Wah, ini berkah buatku, soalnya bengkelku dua minggu ini rame pol. Semua pelanggan bilang motornya mulai brebet habis isi Pertalite. Aku tak berani menuduh, tapi bensinnya memang agak beda. Biasanya warnanya kuning muda, ini lebih pudar, baunya juga aneh, semacam campuran minyak tanah.”

“Lho, itu bukti lapangan, Mas Mahmud!” seru Paijo semangat.

“Tapi Pertamina sudah buka posko pengaduan di SPBU Kebonsari Surabaya sejak 28 Oktober. Katanya baru dua puluh laporan yang masuk, Cak Paijo. Artinya tidak semua orang mengalami hal yang sama. Mungkin sebagian cuma ikut-ikutan panik.”

“Dua puluh laporan di satu SPBU, itu sudah gawat!” balas Paijo cepat. “Dan belum semua rakyat tahu cara melapor. Coba kalau semua SPBU bikin posko, bisa ratusan aduan. Rakyat ini sering kalah data, karena mereka disuruh tenang padahal motornya mogok.”

“Tapi Pertamina katanya sudah investigasi sampai ke mobil tangki, Cak Paijo. Mereka mengambil sampel dari SPBU Surabaya, Gresik, Lamongan, dan Malang. Semua katanya sesuai spesifikasi. Jadi ya mungkin cuma distribusi kecil yang terganggu,” Ujar Mahmud Wicaksono.

“Lha, kalau sudah tahu ada gangguan, itu artinya pengawasan lemah, Mas!” kata Cak Paijo LSM. “Kita ini sering diberi jawaban klise: ‘sedang diselidiki’. Tapi hasilnya entah kapan. Sementara rakyat disuruh sabar, padahal mogok di tengah jalan.”

Di tengah perdebatan yang makin panas, tiba-tiba datang Gus Karimun, tokoh kampung yang terkenal santai tapi menyejukkan. Ia duduk pelan.

“Lho, Gus, pas banget! Kami lagi debat nasional,” kata Mahmud Wicaksono.

“Debat soal apa ini?” tanya Gus Karimun dengan senyum lembut.

“Pertalite, Gus,” jawab Cak Paijo LSM cepat. “Ratusan motor mogok di Jatim, rakyat dirugikan, tapi belum ada pihak yang bertanggung jawab. Semua bilang masih uji lab.”

Gus Karimun mengangguk pelan. “Saya juga baca beritanya. Kadang kita cepat menuduh karena kita marah. Tapi marah saja tidak memperbaiki mesin. Coba dulu kita cek, seberapa sering kita men-service motor kita? Kadang tangki bocor, filter mampet, tapi kita malah menuduh pemerintah.”

Cak Manap ikut angkat tangan. “Bener, Gus. Banyak motor injeksi yang filternya jarang dibersihkan. Begitu brebet, langsung bilang gara-gara Pertalite. Padahal tangkinya penuh karat.”

“Tapi Gus,” Cak Paijo LSM menimpali, “kalau laporan sudah sebanyak itu dan terjadi di waktu bersamaan, mestinya tetap diselidiki serius. Jangan cuma rakyat disuruh instropeksi, tapi sistemnya dibiarkan.”

“Pemerintah memang wajib menjamin kualitas BBM, apalagi ini hajat hidup orang banyak. Tapi harus ada penyelidikan, bukan langsung menyalahkan. Lemigas sudah mengambil sampel dan hasilnya sesuai spesifikasi, tapi proses pengecekan di lapangan belum selesai. Kita tunggu data, bukan asumsi.”

Cak Paijo sedikit menunduk, tapi masih berapi-api. “Gus, rakyat ini sudah sering dijadikan kelinci percobaan.”

“Tapi ingat, Cak Paijo, kejujuran harus dari dua arah. Kalau ada yang salah, akui. Kalau ada yang benar, dukung. Sekarang semua orang suka menjadi viral, tapi sedikit yang mau verifikasi.”

Mahmud mengangguk. “Iya, Gus. Di medsos semua jadi ahli kimia. Padahal uji oktan saja tidak tahu caranya.”

“Persis,” sahut Cak Solikin Bengkel. “Katanya RON Pertalite 90, tapi yang ngomong pun tidak tahu RON itu singkatan apa.”

“RON itu singkatan rondo,” celetuk Cak Sueb saat mengantar kopi Gus Karimun.

Gus Karimun ikut tertawa, tapi kemudian menatap semua dengan serius. “Kalian tahu, saya justru senang lihat perdebatan di warung ini. Artinya rakyat masih mau berpikir. Tapi jangan sampai ada yang marah. Kalau mau protes, bawa data. Kalau mau mengkritik, cari bukti. Jangan cuma pakai asumsi.”

Cak Paijo menatap cangkirnya. “Jadi, Gus, kita harus bagaimana?”

“Mulailah dari yang kecil,” kata Gus Karimun. “Laporkan kalau ada kejadian mogok, catat SPBU-nya, tanggal, dan jenis motornya. Kalau laporan banyak dan data akurat, Pertamina akan terpaksa bertindak. Kritik tanpa data hanya bikin gaduh. Tapi data tanpa keberanian juga tak berarti.”

Mahmud Wicaksono menimpali, “Tapi memang aneh, Gus. Kenapa kejadian brebet ini hanya di Jawa Timur? Di Jakarta, Bandung, Medan, aman-aman saja.”

“Ya, mungkin karena distribusi di Jatim melewati jalur panas. Mobil tangki bisa kena macet berjam-jam, suhu naik, uap mengendap, akhirnya kualitas turun sedikit,” jawab Cak Manap. “Tapi ini belum pasti, masih harus diuji.”

Gus Karimun menyeruput kopinya, lalu berkata, “Nah, lihat? Semua orang punya pendapat. Dan itu bagus. Tapi jangan sampai perdebatan di warung seperti ini berhenti di sini. Semoga yang di atas sana juga mau turun minum kopi, supaya paham kegelisahan rakyat.”

“Mustahil, Gus, kalau pejabat minum kopi di warung saya, itu berarti pemilu sudah dekat. Ini kan masih jauh.” Kata Cak Sueb.

Website with WhatsApp Message
Follow Official WhatsApp Channel WARTABROMO untuk mendapatkan update terkini berita di sekitar anda. Klik disini.