Cara Membayar Utang Puasa Ramadan yang Terlewat 2 Kali, Ini Penjelasan Lengkapnya

15

Pasuruan (WartaBromo.com) – Cara membayar utang puasa Ramadan lewat 2 kali sering menjadi pertanyaan umat Muslim, terutama bagi  yang memiliki uzur di masa lalu namun belum sempat mengqadha hingga datang Ramadan berikutnya.

Apakah cukup mengganti puasa saja, atau perlu membayar fidyah? Dalam Islam, kewajiban mengganti puasa yang ditinggalkan telah ditegaskan secara jelas dalam Al-Qur’an dan dijelaskan oleh para ulama.

Landasan Kewajiban Qadha Puasa dalam Al-Qur’an

Kewajiban mengganti puasa Ramadan yang ditinggalkan termaktub dalam Surat Al-Baqarah ayat 185, Allah SWT berfirman:

وَمَنْ كَانَ مَرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗيُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

Artinya: “Siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya) sebanyak hari yang ditinggalkannya pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran.”

Ayat ini menegaskan bahwa qadha puasa Ramadan adalah kewajiban, bukan pilihan.

Bagaimana Jika Utang Puasa Terlewat Hingga 2 Kali Ramadan?

Masalah muncul ketika seseorang menunda qadha puasa hingga datang Ramadan berikutnya, bahkan sampai dua kali Ramadan berlalu. Dalam hal ini, para ulama memiliki perbedaan pendapat terkait kewajiban fidyah.

Dirujuk dari buku Rangkuman tentang Qadha Puasa karya Abu Ghozie as-Sundawie, disebutkan bahwa jika qadha puasa ditunda tanpa alasan syar’i hingga datang Ramadan berikutnya, maka tetap wajib mengganti puasa sesuai jumlah hari yang ditinggalkan.

Mengenai fidyah, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.

1. Wajib Membayar Fidyah

Pendapat pertama, yakni yang dipedomani Mazhab Syafi’i, Maliki, dan Hanbali, mewajibkan seseorang membayar fidyah jika lalai mengqadha puasanya. Dirujuk dari laman nu.go.id, Syaikh Salim bin Abdillah bin Sumair dalam kitab Safinatun-Naja menerangkan:

وَأَقْسَامُ الْإِفْطَارِ أَرْبَعَةٌ أَيْضًا مَا يَلْزَمُ فِيْهِ ألْقَضَاءُ وَالْفِدْيَةُ وَهُوَ إِثْنَانِ أَلْأَوَّلُ أَلْإِفْطَارُ لِخَوْفٍ عَلَى غَيْرِهِ وَالثَّانِيْ أَلْإِفْطَار مَعَ تَأْخِيْرِ قَضَاءِ مَعَ إِمْكَانِهِ حَتَّى يَأْتِيَ رَمَضَانُ أَخَرُ وَثَانِيْهَا مَا يَلْزَمُ فِيْهِ الْقَضَاءُ دُوْنَ الْفِدْيَةِ وَهُوَ يَكْثُرُ كَمُغْمَي عَلَيْهِ وَثَالِثُهَا مَا يَلْزَمُ فِيْهِ أَلْفِدْيَةُ دُوْنَ الْقَضَاءِ وَهُوَ شَيْخٌ كَبِيْرٌ وَرَابِعُهَا لَا وَلَا وَهُوَ أَلْمَجْنُوْنُ أَلَّذيْ لَمْ يَتَعَدَّ بِجُنُوْنِهِ

Artinya: “Macam-macam putusnya puasa dan hukumnya terdiri dari empat hal. Pertama, perkara yang mewajibkan qadha dan membayar fidyah, yaitu putusnya puasa sebab mengkhawatirkan orang lain dan tidak menqadha puasa disebabkan menunda-nunda pada waktu yang dimungkinkan, hingga datang bulan Ramadhan berikutnya. Kedua, perkara yang hanya mewajibkan qadha saja, dalam hal ini terjadi pada kebanyakan orang seperti sakit ayan dan lain-lain. Ketiga, perkara yang mewajibkan membayar fidyah tidak qadha, yaitu orang yang tua renta. Keempat, tidak wajib qadha dan tidak wajib fidyah yaitu orang gila yang tidak disengaja gilanya.

2. Pendapat Mazhab Hanafi

Mazhab Hanafi berpendapat bahwa tidak ada kewajiban fidyah, meskipun qadha puasa terlambat hingga melewati Ramadan berikutnya. Cukup mengganti puasa yang ditinggalkan saja.

Namun demikian, apabila penundaan qadha dilakukan tanpa alasan syar’i, maka perbuatan tersebut termasuk dosa. Oleh karena itu, selain mengqadha puasa, seseorang wajib bertaubat, memohon ampun kepada Allah SWT, dan bertekad untuk tidak mengulangi kelalaian yang sama. (jun)

Website with WhatsApp Message
Follow Official WhatsApp Channel WARTABROMO untuk mendapatkan update terkini berita di sekitar anda. Klik disini.