Persiapan Perang Dunia Ketiga di Warung Kopi

8

“Saya sudah lama punya angan-angan buat bunker sederhana di pekarangan, tapi belum terwujud juga. Insya Allah bunker apalagi terowongan, sedikit berguna untuk menyelamatkan anak-anak dari ancaman senjata modern.”

Oleh : Abdurrozaq

Kabar buruk dari seluruh dunia, akhirnya sampai juga ke warung Cak Sueb, melalui televisi dan HP. Perang Thailand, Rusia-Ukraina, Timur Tengah, Afrika, Rusia-NATO, Amerika-Venezuela, China-Taiwan-Jepang, India-Pakistan. Entah kenapa, para pemimpin dunia lambat laun makin songong dan selalu mengandalkan gelut sebagai solusi. Perang menimbulkan laep alias krisis ekonomi global, dan untuk mengatasinya, negara-negara besar mencari solusi dengan mencaplok negara lain dengan perang. Sebuah lingkaran setan yang mirip nasib para pecinta judol yang terjerat pinjol. Naasnya, kabar yang selalu buruk itu selalu terdengar oleh Mahmud Wicaksono, seorang tukang cukur yang mulai orok hingga kini, selalu melarat. Apakah Mahmud Wicaksono kelak akan menjadi seorang wali?

“Gus,” katanya sambil menatap kopi di cangkir, “kalau Perang Dunia Ketiga terjadi, negara kita ini ikut perang atau tidak, ya? Menurut terawangan sampeyan bagaimana?”

“Kita ini,” jawab Gus Karimun hati-hati, “insya Allah tidak ikut perang. Tapi, pasti ikut terkena imbasnya.”

“Saya gemetar, gus. Makin hari kok makin banyak negara perang. Kalau mati sih, kapan pun bisa. Tapi kelaparan, kejahatan perang, tragedi kemanusiaan, saya kira lebih mengerikan daripada mati terkena nuklir,” ujar Mahmud Wicaksono serius.

“Apalagi, tren perang sekarang pakai embargo pangan. Senjatanya gandum, pupuk, dan minyak.”

“Itulah yang setiap malam saya tirakati, mas,” ujar Gus Karimun lemas. “Perang dunia kian nyata, krisis pangan di depan mata. Kita yang katanya negara agraris, malah bertahan hidup dari pangan impor. Kalau perang terjadi, bagaimana anak-anak kita?”

“Kita sering bangga disebut negara agraris. Tapi sawah menyusut, petani menua tanpa regenarasi, dan anak mudanya lebih kenal algoritma daripada musim tanam. Lebih banyak yang tertarik kerja di pabrik atau menjadi konten kreator,” ujar Mahmud Wicaksono.

“Ketakutan saya juga sama dengan ketakutan sempeyan,” jawab Gus Karimun. “Bukan takut mati karena perangnya, tapi takut menyaksikan anak-anak kita mati kelaparan, menjadi korban perang, lalu menjual iman demi bertahan hidup.”

“Lagi pula, budaya kita budaya terlambat. Baru mencari solusi setelah keadaan darurat, baru membuat obat setelah wabah merebak, baru menanam setelah banyak yang mati kelaparan. Kita lihat di Sumatera saja, hingga berminggu-minggu bencana belum teratasi, pengungsi masih kelaparan. Ini perkantoran masih buka lho. Para pegawai negara masih bisa ngopi di jam kantor lho, sudah telat begini menangani keadaan. Lha ndanio kalau perang dunia, apa tak semakin parah karena para penguasa kita ramai-ramai sembunyi di bawah bunker?” Baru kali ini Gus Karimun terlihat gusar.

“Benar, gus. Kita ini,” kata Mahmud Wicaksono, “negara yang selalu kaget dengan masalah yang sudah terjadi.”

“Jangan-jangan, nanti krisis pangan disuruh disikapi dengan sabar,” kelakar Gus Karimun.

“Menurut penerawangan sampeyan, sudah dekatkah perang dunia ketiga, gus?” desak Mahmud Wicakosono.

“Saya memang belum pernah istikharah soal itu. Namun menurut analisis nalar saja, sepertinya tak lama lagi. Pemantik perang itu kan selalu perut, mas? Lha Amerika, Eropa, bahkan Cina, kan mulai bangkrut? Perang dunia pertama dan kedua, menurut yang kita baca kan asal muasalnya ya krisis ekonomi? Lha sekarang kan, dedolarisasi mulai marak, takutnya Amerika ngamuk, lalu mental preman pasarnya selama ini ditingkatkan menjadi mode ormas tukang palak. Kalau sudah begitu, ya wassalam sudah.”

“Lalu, kalau perang dunia terjadi, apa kira-kira usaha terakhir agar kita bisa hidup lebih lama?” Cecar Mahmud Wicaksono.

“Saya sudah lama punya angan-angan buat bunker sederhana di pekarangan, tapi belum terwujud juga. Insya Allah bunker apalagi terowongan, sedikit berguna untuk menyelamatkan anak-anak dari ancaman senjata modern.”

“Saya juga berpikir, pemerintah seharusnya memikirkan ide wajib militer agar setiap orang punya sedikit skill bertahan saat perang. Minimal, kalau menemukan bedil rampasan, bisa menembak. Dan lagi, agar anak-anak muda tidak menjadi geng motor, tawuran atau belajar silat buat gagah-gagahan dan bikin onar, kan bisa tersalurkan dengan wajib militer?”

“Untuk ketahanan pangan, ayo kita tanam pohon berbuah dan sayuran di pekarangan. Kalau punya lahan, tanami singkong, pepaya atau pisang. Kalau punya sawah, jangan dijual untuk beli mobil. Kita belajar bertani lagi, karena ke depan, insya Allah pangan akan lebih mahal daripada emas. Para adipati atau camat, tolong penjarakan orang yang mengebor sumur artesis sembarangan. Orang seenaknya mengebor sumur artesis, lalu airnya dijual ke tetangga pakai saluran paralon. Padahal pakai pompa air masih bisa kalau untuk keperluan rumah tangga. Orang malah seenaknya mengebor untuk kolam renang buatan, kolam pancing perjudian bahkan air tanah dibuang begitu saja.”

“Jangan terlalu panik, mas,” celetuk Wak Takrip tiba-tiba.

“Menurut primbon Jayabaya karangan Sunan Giri Kedaton, negara ini insya Allah menemukan kejayaannya tak lama lagi. Insya Allah, seluruh dunia memang akan berperang, tapi tanah ini akan selamat. Bahkan, orang dari berbagai belahan dunia akan mencari perlindungan di tanah kita ini. Pangan justru akan melimpah, emas akan muncul dari perut bumi, kita akan jaya selama beberapa tahun ke depan. Sebelum akhirnya…..” Wak Takrip tak melanjutkan kata-katanya.

“Akhirnya bagaimana, wak?” buru Mahmud Wicaksono.

“Wallahu a’lam. Ramalan primbon Jayabaya hanya menulis kejayaan negeri ini hingga munculnya ratu adil.”

“Semoga saja ratu adil itu belum imam Mahdi,” sambung Gus Karimun.

Warung senyap. Kiamat kecil dan kiamat iman menghantui pikiran Mahmud Wicaksono yang selalu sok pahlawan memikirkan nasib dunia. Meski, saat itu beras di rumahnya habis.

Website with WhatsApp Message
Follow Official WhatsApp Channel WARTABROMO untuk mendapatkan update terkini berita di sekitar anda. Klik disini.