Balada Bediding Ekstrim

10

“Yen wes udan salah mongso, maka kiamat sudah sangat dekat,”

Oleh : Abdur Rozaq
Di pojok warungnya, Cak Sueb mlungker kemul-kemul sarung. Hanya ada satu pelanggan di sana: Mahmud Wicaksono. Sarjana tukang cukur itu sebenarnya bukan benar-benar pelanggan, karena lebih sering ngutang daripada bayar kopi secara kontan. Apalagi, ia berada di warung dalam rangka melarikan diri dari lapak cukur rambutnya yang sesepi kuburan. Pelanggan lapaknya hanya datang dua hari sekali, namun tetap ia buka agar tak terlihat menganggur. Kemana para pelanggan warung lainnya? Dengaren orang-orang pinggiran itu tidak melakukan ritual menertawakan hidup dengan minum kopi dan sedal-sedul udud seraya ngerasani pemerintah?

Semua pelanggan warung kopi pinggir sungai itu ternyata kemul-kemul sarung di rumah masing-masing. Hawa dingin ekstrim alias bediding, memang sedang melanda kampung Cak Manap. Bahkan menurut postingan di media sosial, hampir semua kota di negara Cak Manap juga mengalami hal serupa.

Bagi mereka yang punya NIP apalagi punya pendapatan dari proyek dan reses, bediding begini tak begitu masalah, karena tak harus begadang mencari rejeki. Bahkan bagi mereka yang punya penghasilan dari merubah angka SPJ, ini malah baik. Dinginnya hawa malam bisa membuat semakin asyik ngeruntel dengan istri simpanan, pasangan sewaan atau LC di sebuah losmen berselimut uang, seraya ngudud asap setan yang dibakar dari tepung laknat. Namun bagi Cak Suep, Mahmud Wicaksono, Cak Darso mie goreng, Cak Pardi Bakso serta rakyat yang mencari rejeki di malam hari, bediding bisa menjadi sebuah pemantik musibah. Cak Pardi bakso misalnya, sejak dua hari diboikot istrinya karena pulang membawa sedikit uang setoran kepada jergan wedok. Cak Pardi yang beralibi bahwa orang malas keluar rumah karena hawa dingin, mendapat mosi tidak percaya dari istrinya. Cak Darso mie goreng, harus eyel-eyelan dengan penagih bank titil karena sudah beberapa hari prei nyicil.

Mahmud Wicaksono, nasibnya makin tragis karena jangankan pelanggan, jin dan demit pun enggan mampir di lapak cukur rambutnya. Rokok murahannya kian menipis, kopinya tinggal letek, namun ia tak berani pulang. Hawa dingin menusuk sumsumnya yang kering karena kurang asupan makanan bergizi. Akal warasnya juga mulai diserang halusinasi oleh hawa dingin dan phobia omelan istrinya. Maka, seraya ngudud dan menatap ruang kosong, ia mulai berceloteh.

“Yen wes udan salah mongso, jika hujan turun di musim yang salah, maka kiamat sudah sangat dekat,” gumamnya mengutip salah satu bait ramalan Jayabaya.

“Ini tidak biasa, cak. Sejak kecil kita tidak pernah merasakan hawa dingin seperti ini. Ini pertanda alam sudah gering. Sakit stadium akhir.” Cak Sueb hanya menyimak. Sepinya pelanggan seakan menghisap seluruh daya hidupnya.

“Ozon, semacam gas yang menyelubungi bumi, telah berlubang-lubang oleh asap knalpon, cerobong pabrik, uji rudal nuklir dan roket luar angkasa. Setiap negara berlomba menerbangkan roket luar angkasa untuk membawa satelit. Satelitnya digunakan untuk mengirim sinyal internet, lalu internetnya kita gunakan untuk menonton situs dewasa, membuka aplikasi prostitusi online, membuka situs judi dan utangan online, bahkan dengan satelit itu, manusia bisa memata-matai negara lain bahkan menghabisi seseorang dengan drone. Beberapa orang bahkan menggunakan internet untuk meng-hack data, membobol rekening atau membuat sebuah negara hancur dengan berita bohong.” Cak Sueb sebenarnya ingin mencibir kalau tukang cukur seperti Mahmud Wicaksono terlalu ndakik kalau bicara. Seorang tukang cukur yang lapaknya selalu sepi, tapi sok jadi analis sekelas agen Mossad. Namun, Cak Sueb tak tega untuk mengatakannya.

“Semakin hari, fenomena seperti ini akan semakin parah. Banjir rob akan makin sering, kota-kota pesisir akan makin tenggelam, tornado akan kian menjadi, pokoknya bencana alam akan kian gawat karena alam makin sakit.”

“Lha terus kita harus bagaimana?” Tanya Cak Sueb sebagai penghormatan. Agar Mahmud Wicaksono tak merasa diacuhkan.

“Ya tidak bisa. Kita tidak bisa berbuat apa-apa. Wong perusak alam yang paling ganas malah negara-negara super power semua. Ya paling tidak, kita jangan menebang pohon sembarangan, mulai belajar menanami pekarangan, jangan boros energi. Dan internet yang bisa menyala dengan cara melubangi ozon, kita gunakan dengan bijak. Jangan hanya kita gunakan untuk judol atau membuka medsos tak jelas juntrungnya. Barangkali, Gusti Allah menunda adzabnya dengan kita menonton pengajian di Youtube dan situs lainnya.”

“Tapi itu angel, mas. Orang sekarang kan lebih tertarik menonton hal-hal tak berguna daripada yang mendidik,” ujar Cak Sueb.

“Lha ya itu.”

Malam makin larut, hawa dingin makin menggigit. Keduanya terdiam, merenung masing-masing. Cak Sueb mungkin mulai menghitung penghasilan warung dan ketar-ketir besok pagi kulakan pakai uang dari mana. Sementara Mahmud Wicaksono, ia risau karena sekali lagi harus pulang tanpa membawa uang. Namun di pikirannya, sarjana itu malah lebih memikirkan bagaimana nasib para ojol, kurir dan welijo yang harus berkendara dalam hawa dingin yang menusuk. Bagaimana nasib para tunawisma yang meringkuk di emper-emper toko, para penjaja cinta kaki lima yang mangkal di dekat rel kereta api, para guru honorer yang nyambi jadi pekerja malam dan semacamnya. Andai kudeta tak haram, kadang Mahmud Wicaksono berhayal ingin memutilasi koruptor, kades yang menggunakan dana desa untuk menyewa room karaoke dan pesta sabu-sabu atau ketua yayasan pendidikan yang mengkorupsi dana BOS.

*Hanya fiksi semata, jika ada kesamaan nama dan peristiwa, hanya kebetulan

Website with WhatsApp Message
Follow Official WhatsApp Channel WARTABROMO untuk mendapatkan update terkini berita di sekitar anda. Klik disini.