Probolinggo (WartaBromo.com) – Harapan Juriya, seorang perempuan difabel asal lereng Argopuro, pupus di meja layanan bank. Niatnya mencairkan bantuan sosial (bansos) PKH tak kesampaian hanya karena tidak bisa melakukan sidik jari pada sistem biometrik.
Kasus tersebut langsung mendapat perhatian anggota Komisi IV DPRD Kabupaten Probolinggo, Arief Hidayat.
“Ini bukan sekadar masalah teknis, tapi soal kemanusiaan. Bank negara seharusnya punya solusi ketika sidik jari tidak dapat dilakukan, bukan malah mempersulit. Hak difabel dan kaum miskin dijamin undang-undang, jangan sampai terhalang birokrasi,” ujarnya, Rabu (24/9/2025).
Politisi akrab disapa Cak Dayat itu, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas sudah menegaskan hak difabel dalam mengakses layanan publik, termasuk perbankan.
Begitu pula Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 yang menekankan bahwa bansos wajib disalurkan secara tepat sasaran dan mudah diakses.
Sebagai mantan pendamping Program Keluarga Harapan (PKH), Cak Dayat menilai pelayanan bank bagi penerima bansos masih timpang dibanding nasabah umum.
Politikus PDIP itu mendesak adanya pembaruan standar operasional prosedur (SOP), pelayanan dan administrasi bagi KPM PKH dan BPNT, bukan hanya prosedur pencairan.
Perbaikan itu dapat dimulai dari verifikasi alternatif dengan identitas resmi. Bisa juga biometrik wajah, ketika nasabah tidak memungkin melakukan sidik jari.
Kemudian layanan jemput bola bagi difabel dan lansia, hingga peningkatan kapasitas petugas agar lebih ramah kepada kelompok rentan.
“Profesionalisme bank bukan hanya soal teknologi, melainkan juga tentang empati dan keadilan. SOP pelayanan harus memastikan akses yang setara bagi semua, terutama difabel dan keluarga pra sejahtera penerima bansos,” kata Cak Dayat.
Sebagaimana diwartakan sebelumnya, peristiwa itu terjadi di Bank BNI KCP Kraksaan, Jumat (19/9/2025). Juriya, warga Dusun Selatan, Desa Bermi, Kecamatan Krucil, datang dengan penuh harap.
Ia bahkan menyewa mobil demi bisa mengurus aktivasi rekening kolektif untuk pencairan dana bantuan sebesar Rp600 ribu yang diterima setiap tiga bulan.
Namun, kenyataan berkata lain. Petugas bank menolak melanjutkan proses lantaran kondisi jarinya tidak memungkinkan untuk dipindai.
Bagi Juriya, pengalaman itu bukan hanya menimbulkan rasa kecewa, tetapi juga meninggalkan tanda tanya: apakah akses terhadap bantuan negara memang seberat ini bagi penyandang disabilitas? (saw)