Tak terima karena makam leluhur dibongkar itu memang benar. Tapi tak terima karena makam leluhur ditindih atau dipepet, itu juga benar. Jadi, kita ini sama-sama benarnya,” ujar Gus Karimun logis.
Oleh : Abdurrozaq
Sore itu, kampung Cak Manap terasa lebih panas dari biasanya. Matahari memang menyengat beberapa hari terakhir, namun bathin mereka, lebih panas setelah pembongkaran makam beberapa waktu lalu. Sejak pembongkaran makam itu, suasana di kampung jadi ganjil. Orang-orang sangat berhati-hati saat bicara, tapi jempolnya sibuk menulis pitenah, pedebatan, bahkan ada yang sampai misuh-misuh di media sosial. Padahal sama-sama umat Kanjeng Nabi.
Warung Cak Sueb di dekat sungai yang biasa ramai dengan tawa, kini terasa kaku. Seperti koruptor kelas teri yang dipergoki KPK. Kopi masih panas, tapi obrolan dingin. Mahmud Wicaksono duduk di pojok warung, wajahnya melongo seperti orang baru kalah judol. Cak Paijo LSM kali ini justru menunduk. Wak Takrip, yang biasanya semangat kalau ngomong “amar ma’ruf nahi munkar”, sepertinya sedang menahan diri untuk bicara tak perlu. Cak Manap dan Cak Soleh Las juga diam. Entah karena takut salah ngomong, atau mulai sadar sudah kebanyakan ngomong.
Di tengah suasana canggung itulah, datang Gus Karimun. Tanpa pengawalan, tidak disambut salim cium tangan beramai-ramai, apalagi rebutan salaman seraya menyelipkan amplop. Tapi begitu ia duduk di lincak bambu, suasana warung seolah berubah.
“Lho, dengaren tidak cekakaan seperti biasanya?” Ujar Gus Karimun begitu duduk di lincak warung.
“Mau guyon, takut salah omong, gus,” sahut Wak Takrip.
“Suasananya memang panas, ya Wak?” kata Gus Karimun sambil melepas songkok hitamnya yang mulai menguning lusuh.
“Iya, panas, Gus,” jawab Cak Sueb dari balik meja.
“Bukan cuma hawanya, tapi suasana hati juga,” lanjut Gus Karimun seraya tersenyum penuh arti.
“Ya, gara-gara pembongkaran makam kemarin itu, Gus,” celetuk Mahmud Wicaksono.
Gus Karimun menatap satu persatu para sahabatnya di warung itu. Lalu mulai bicara pelan, seperti orang bercerita, bukan memberi ceramah.
“Kita ini aneh. Baru dengar kabar burung, sudah menilai seolah tahu seluruhnya. Terlalu cepat jadi hakim, dan terlalu grusa-grusu.”
“Tapi Gus, kalau kita diam, nanti dibilang tidak peduli.”
“Diam itu kadang juga diperlukan, Mas Mahmud. Kalau kita terlalu reaktif, jadinya ya sering blaen.” Warung sejenak hening. Suara gelas yang membentur lepekan terdengar seperti suara petugas Bank Mekar yang mengagetkan nasabah.
“Semua sudah terlanjur terjadi, harusnya kita sudah diam, cep. Tak memperpanjang masalah, tidak berkomentar macam-macam di media sosial, tidak membuat konten click bait demi uang adsens untuk beli beras,” ujar Gus Karimun panjang lebar.
Cak Paijo akhirnya bersuara. “Tapi Gus, media sosial kan tempat menyampaikan kebenaran.”
Gus Karimun menatap ponsel di meja. “Media sosial itu seperti sumur, Cak Paijo. Semakin keras kita berteriak, semakin keras suara kita memantul balik. Kalau kita tetap gaduh di media sosial, kapan maremnya, kapan dinginnya suasana?”
Cak Manap terkekeh. “Benar juga, Gus. Kemarin saya cuma berkomentar ‘astaghfirullah’, eh dibilang nyindir. Saya menulis komentar istighfar malah dibalas dengan komentar pisuhan. Kan aneh, ya?”
“Ya, karena sekarang semua orang bebas berpendapat apapun. Dan karena isi kepala manusia tak sama, jadinya ya rancu begini. Saling sindir, saling hujat, saling merasa jadi korban,” kata Gus Karimun pelan.
Wak Takrip menghela napas. “Berarti kita tak boleh menyuarakan kebenaran, Gus?”
“Ya wajib, Wak. Tapi kita harus cerdas menyampaikannya. Jangan sampai kebenaran itu kita sampaikan dengan cara yang kurang benar.”
“Tak terima karena makam leluhur dibongkar itu memang benar. Tapi tak terima karena makam leluhur ditindih atau dipepet, itu juga benar. Jadi, kita ini sama-sama benarnya,” ujar Gus Karimun logis.
“Lalu yang salah siapa, gus?” Protes Cak Paijo LSM.
“Yang kurang benar ya yang belum menyadari kekhilafannya. Yang kurang benar adalah yang tidak saling meminta maaf dan tabayyun. Dan yang paling kurang benar, adalah yang manas-manasi.”
“Saya sempat ikut debat di grup WA, Gus. Katanya untuk amar ma’ruf, tapi kok ujungnya saling hina,” curhat Cak Soleh Las.
“Untuk sementara ini, kita seharusnya puasa media sosial, kok. Kalau bisa, kita spam postingan-postingan yang memprovokasi. Kalau Mas Mahmud bisa meng-hack akun-akun pemecah belah, hack saja. Biar para lambe turah itu tak semakin memperlambat proses rekonsialiasi. Kita sesama umat Kanjeng Nabi, wes gak usum tukaran. Usume golek duwit kanggo mbayar BRI.”
“Siap, Gus. Mulai nanti malam akun-akun lambe turah itu akan bertumbangan. Kalau provokasinya parah, saya ambil alih akun atau channelnya,” ujar Mahmud Wicaksono berbinar.
*Hanya fiksi semata, jika ada nama dan peristiwa yang sama, kami hanya berupaya mencari nafkah