“Wah, kalau syarat disebut pahlawan harus punya piagam, di negara ini hanya beberapa biji pahlawan. Dulu kan banyak kiai dan santri ikut berjuang, tapi banyak dari mereka yang menyembunyikan identitas serta jasanya. Apa mereka tidak layak disebut pahlawan? Sekarang malah ada orang yang bilang pesantren itu tempat orang kolot?”
Oleh : AbdurRozaq
Mahmud Wicaksono datang ke warung Cak Sueb dengan langkah gontai sebagaiama biasanya “kopi hitam Cak, gulanya jangan pelit. Hidup sudah pahit, makanya kopi harus manis,” ujar Mahmud Wicaksono lunglai.
Seraya menunggu kopi siap, Mahmud Wicaksono duduk dilincak, merenung, eh pening. Tak lama, datanglah Cak Paijo LSM, membawa map tebal berisi dokumen yang entah apa isinya. Biasanya sih, berisi surat pemberitahuan demo atau somasi proyek.
Cak Paijo LSM langsung duduk dengan gaya pejabat yang gagal dilantik. “Besok Hari Pahlawan. Anak saya minta dicarikan sewaan baju adat. Sampeyan punya kenalan penyewa baju adat?” Tanya Cak Paijo LSM kepada Mahmud Wicaksono.
“Pakai baju seragam sekolah kan bisa, Cak? Anak sekolah kan juga pahlawan, paling tidak pahlawan bagi negara ini kelak,” jawab Mahmud Wicaksono enteng.
“Saya baca di media sosial,” kata Cak Manap penuh percaya diri, “katanya pahlawan zaman sekarang itu yang banyak bikin konten edukatif. Berarti Youtuber juga pahlawan, kan? Mas Mahumud Wicaksono yang penulis, Youtuber, tukang cukur sekaligus ahli terapi refleksi, kan juga termasuk pahlawan bagi keluarganya?”
Mahmud Wicaksono menyeringai. “Kalau begitu kriterianya, kucing yang viral di Tiktok juga pahlawan karena menghibur rakyat, Cak.”
Tawa pecah di warung kopi Cak Sueb. Cak Soleh Las yang baru datang ikut nimbrung, dengan serbuk besi masih menempel di bajunya. “Kalau begitu, saya juga pahlawan, karena tiap hari membuat pagar rumah orang agar aman dari maling. Tukang las juga punya peran kebangsaan, lho,” celotehnya seraya menggasak rondo royal.
Cak Paijo LSM membetulkan posisi duduknya, menyiapkan amunisi debat yang dianggapnya ilmiah. “Kalau menurut undang-undang sih, pahlawan itu orang yang berjuang untuk kemerdekaan bangsa dan memiliki moral tinggi.”
Mahmud Wicaksono menatapnya datar. “Undang-undang yang mana, Cak Paijo?”
Cak Paijo LSM membuka HP-nya, scroll-scroll sebentar tapi ternyata data internetnya habis. “Eee… saya lupa pasalnya. Tapi intinya begitu. Secara prinsip, pahlawan itu harus diakui negara.”
Wak Takrip terkekeh. “Kalau begitu, guru yang dibayar 150 perbulan, sering dilawan murid bahkan dilaporkan ke polisi tapi tak diakui negara, berarti bukan pahlawan?”
Cak Soleh Las menyambung, “Berarti kalau istri saya bangun subuh untuk meniapkan sarapan tapi tidak dapat piagam, cuma dianggap asisten rumah tangga gratisan, Cak?”
Tawa menggema lagi. Cak Paijo LSM memutar bola matanya. “Kalian ini tidak ilmiah. Kita harus bedakan antara jasa individu dan jasa kenegaraan.”
“Wah, kalau syarat disebut pahlawan harus punya piagam, di negara ini hanya beberapa biji pahlawan. Dulu kan banyak kiai dan santri ikut berjuang, tapi banyak dari mereka yang menyembunyikan identitas serta jasanya. Apa mereka tidak layak disebut pahlawan? Sekarang malah ada orang yang bilang pesantren itu tempat orang kolot?” Serang Cak Manap.
Mahmud Wicaksono menghela napas. “Itulah masalahnya, Cak Manap. Zaman berubah, tapi rasa hormat tidak ikut naik kelas. Padahal, yang menyalakan semangat kemerdekaan dulu bukan cuma tentara, tapi para kiai dan santri yang doanya lebih kuat dari peluru.”
Wak Takrip menatap kosong ke langit-langit warung. “Dulu, kiai itu mengorbankan apa saja demi kemerdekaan. Sekarang, anak-anak ingusan yang katanya cerdas, tak pernah tahu bagaimana pengorbanan para kiai, malah menghina pesantren, merendahkan kiai bahkan terang-terangan memusuhi pesantren. Kok bisa ya?”
“Itu karena pesantren tidak mengikuti perkembangan zaman, Wak. Harusnya para kiai juga merubah tradisi feodalisme yang sekarang banyak dikritik itu,” ujar Cak Paijo LSM memancing perkara.
“Memangnya kiai pernah mengajak santrinya untuk merusak tempat ibadah agama lain?” Cecar Mahmud Wicaksono panas. “Pernah ada kiai menjadi panitia pesta cabul sesama jenis seperti kaum liberal yang katanya pemuja nalar dan kebebasan itu?” Mahmud Wicaksono memang selalu emosional kalau urusan agama disentuh. Apalagi kalau itu hanya isu dan framming tak bertanggung jawab.
Gus Karimun yang dari tadi duduk tenang, menatap mereka dengan senyum teduh. “Cak Paijo,” katanya lembut, “sampeyan ada benarnya. Pesantren memang harus belajar terus berbenah dan tidak anti kritik, tapi nilai pesantren jangan hilang. Kalau cuma ikut modernisasi tanpa akhlak, nanti siapa yang menjaga spiritualitas bangsa ini?”
Mahmud Wicaksono mengangguk mantap. “Betul, Gus Karimun. Sekarang banyak yang pintar teori, tapi tidak pernah berbuat apa-apa.”
Cak Paijo LSM membela diri, “Tapi kan saya sering turun ke jalan, ikut orasi! Ikut mengawasi berbagai proyek.”
”Itu sudah bagus, tapi lebih bagus lagi kalau ikut mengawasi liarnya narasi sesat di media sosial, Cak.” Ujar Mahmud Wicaksono.
Gus Karimun menambahkan dengan lembut, “Zaman sekarang, memang sangat sulit membedakan pahlawan asli dengan pahlawan cosplay. Kadang orang datang bukan untuk membantu, tapi untuk difoto membantu. Padahal pahlawan sejati itu yang bekerja diam-diam tanpa perlu liputan.”
Cak Soleh Las manggut-manggut. “Saya jadi ingat, Gus Karimun, dulu waktu sekolah, guru saya bilang ‘guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa’. Tapi sekarang guru malah sering dikriminalisasi.”
Mahmud Wicaksono menghela napas. “Betul, Cak. Mereka mencerdaskan bangsa, tapi hidupnya justru paling susah. Guru mengajarkan hampir segala kebaikaan, tapi slip gajinya tidak baik.”
Gus Karimun menatap ke arah jendela. “Saya kadang mikir, kalau para pahlawan kemerdekaan dulu bisa melihat keadaan kita sekarang, mungkin mereka menyesal. Mereka tumpahkan darah supaya bangsa ini merdeka, tapi kita mengisi kemerdekaan dengan pertengkaran antar ideologi, kepentingan politik dan golongan.”
“Miris memang. Kadang kita lihat di TV, orang-orang yang dulu tidak jelas jasanya malah dapat gelar pahlawan. Guru ngaji di surau yang mengajarkan alif ba ta dan bacaan sholat, tak lebih dihormati dari ulama viral yang ceramahnya template. Bahkan banyak yang cenderung adu domba,” sesal Gus Karimun.
Cak Paijo LSM terlihat gelisah. “Tapi Gus, saya tetap yakin pahlawan itu harus punya legitimasi hukum.”
Gus Karimun menatapnya teduh. “Kalau istri sampeyan yang bangun jam tiga pagi masak tapi tak punya piagam, apakah dia bukan pahlawan, Cak Paijo?”
Cak Paijo LSM diam. Kopinya mendingin, tapi wajahnya hangat.
Wak Takrip menimpali, “Kalau ukuran pahlawan pakai legalitas, nanti masuk surga pun perlu SK camat.”
Gus Karimun menatap satu-satu, lalu berkata pelan, “Pahlawan sejati itu yang menenangkan, bukan yang memprovokasi. Yang berbuat meski tak dikenal, bukan yang dikenal karena berbuat gaduh. Kalau kita bisa membuat satu orang tersenyum hari ini, itu sudah pahlawan.” “Pahlawan itu ya kita semua ini. Dengan peran kehidupan kita masing-masing. Tapi memang, ada strata kepahlawanan. Orang-orang besar seperti Pangeran Diponegoro, kepahlawanannya melintasi batas waktu, tempat dan hubungan kekerabatan. Makanya, beliau tetap hidup meski sudah mi’raj ke hadirat Allah. Lha kita mau pilih gelar kepahlawanan yang mana? Cukup jadi pahlawan keluarga, apa menjadi pahlawan semesta?”





















