Probolinggo (WartaBromo.com) — Usia Kota Probolinggo yang selama ini diyakini telah mencapai 666 tahun mulai dipertanyakan.
Wacana untuk meninjau kembali penetapan hari jadi kota ini mencuat dalam Seminar dan Lokakarya (Semiloka) bertema “Jejak Arsip Sejarah Probolinggo sebagai Warisan Budaya: Relevansi di Masa Kini dan Tantangan di Masa Depan”.
Semiloka itu diselenggarakan oleh Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Probolinggo bersama Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Kota Probolinggo, Rabu (12/11/2025).
Kegiatan yang berlangsung di Ruang Pertemuan Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kota Probolinggo ini menghadirkan dua narasumber, yakni Dr. Abdus Sair, S.Sos., M.Sosio. dari Universitas Wijaya Kusuma Surabaya dan Dr. Ahmad Hudri, ST., MAP. dari Institut Ahmad Dahlan Probolinggo.
Wali Kota Probolinggo dr. Aminudin, Sp.OG(K)., M.Kes. membuka kegiatan dengan menekankan pentingnya pelestarian arsip sejarah sebagai bagian dari warisan budaya yang tak ternilai.
“Seminar ini bukan sekadar agenda akademik, tetapi juga bagian dari upaya melestarikan memori kolektif dan identitas sejarah Kota Probolinggo,” ujar Aminudin dalam sambutannya.
Ia menambahkan, di tengah derasnya arus digitalisasi dan disrupsi informasi, pelestarian arsip menjadi tantangan tersendiri.
“Ancaman hilangnya arsip dan melemahnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya kearsipan menjadi pekerjaan rumah bersama,” katanya.
Dalam paparannya, Dr. Abdus Sair menguraikan bahwa Probolinggo memiliki sejarah yang panjang dan dinamis, terbentuk dari interaksi antara kekuasaan kerajaan, kolonialisme, dan migrasi sosial.
“Probolinggo bukanlah kota yang muncul secara tiba-tiba. Ia merupakan hasil proses panjang pembentukan ruang sosial dan budaya,” tutur Sair.
Ia juga menjelaskan, karakter masyarakat Probolinggo terbentuk dari perpaduan budaya Madura dan Jawa Tengah yang saling berinteraksi sejak masa kolonial.
Hal ini menjadikan masyarakatnya memiliki karakter khas: tegas namun tetap halus dalam bertutur dan bertindak.
Sementara itu, Dr. Ahmad Hudri menyoroti perlunya pengkajian ulang terhadap hari jadi Kota Probolinggo yang kini diperingati setiap 4 September.
Menurutnya, dasar penetapan tersebut mengacu pada catatan perjalanan Prabu Hayam Wuruk tahun 1359 yang disebut mengunjungi wilayah Banger — cikal bakal Probolinggo.
Namun, Hudri menilai, dasar tersebut lebih bersifat simbolik ketimbang administratif.
Hudri merujuk pada arsip kolonial Belanda, terutama buku “Het Nederlandsch Java-Instituut: Probolinggo, Geschiedenis en Overlevering” karya Dr. J.G.W. Lekkerkerker (1931), serta dokumen resmi tahun 1968 yang menyebutkan bahwa saat itu Kota Probolinggo berusia 50 tahun.
“Jika pada 1968 usianya 50 tahun, berarti pembentukan pemerintahan kota atau Gemeente Probolinggo terjadi pada tahun 1918,” ungkap Hudri.
Arsip tersebut juga menunjukkan bahwa pada 1918, Probolinggo termasuk salah satu dari 16 Gemeente di Pulau Jawa yang mendapatkan status pemerintahan kota otonom.
Delapan tahun kemudian, status itu meningkat menjadi Stadsgemeente (kota penuh) melalui Stadsgemeente Ordonnantie No. 365 tahun 1926, dan walikota pertama yang menjabat adalah Ferdinand Meijer pada 1928.
“Bukti-bukti ini cukup kuat untuk membuka kembali diskursus tentang usia dan hari jadi Kota Probolinggo,” tegas Hudri.
Sebelum dikenal sebagai Probolinggo, wilayah ini bernama Banger, yang tercatat dalam perjalanan Prabu Hayam Wuruk pada 4 September 1359.
Peristiwa pembukaan hutan di sekitar Sungai Banger oleh Hayam Wuruk menjadi dasar penetapan hari jadi kota saat ini.
Namun, berdasarkan sumber sejarah dan dokumen pemerintahan Hindia Belanda, Hudri menilai bahwa tahun 1918 lebih tepat dijadikan titik awal berdirinya Kota Probolinggo modern.
Diskusi dalam semiloka berlangsung hangat. Para peserta — terdiri dari akademisi, pegiat budaya, tokoh masyarakat, dan alumni HMI — memberikan beragam pandangan.
Mayoritas sepakat perlunya riset lanjutan untuk mengkaji ulang hari jadi Kota Probolinggo secara ilmiah berdasarkan sumber arsip dan bukti sejarah yang otentik.
Kegiatan ini ditutup dengan rekomendasi agar hasil semiloka dijadikan bahan awal penyusunan kajian akademik tentang sejarah dan identitas Kota Probolinggo di masa depan. (saw)




















