“Secara tata kelola, lokasi itu memang sah milik negara, kok,” ujar Mahmud Wicaksono.
“Tapi mereka sudah di sana sejak turun temurun, Mas. Hak miliknya sah. Mereka juga sangat patuh pada kepentingan nasional. Tapi kok kadang-kadang was-was, takut ada kejadian tak terduga.” Kata Cak Paijo LSM.
Oleh: Abdurrozaq
Sejak beberapa hari terakhir, tiba-tiba para remaja tanggung menjadikan lahan sempit dekat warung Cak Sueb sebagai lapangan bola darurat. Alhasil, kesyahduan warung Cak Sueb yang hampir ambrol ke sungai, berkurang.
Pasalnya, para bocah belasan tahun itu tak hanya main bola, tapi juga urakan, bahkan misuh-misuh tak jelas seraya bermain bola. Teriakan, urakan, bahkan pisuhan lebih dominan daripada kegiatan mereka bermain bola. Yang bermain bola kakinya, tapi kenapa mulutnya begitu ribut. Awalnya, itu hanya menjadi gangguan kecil suara bising. Tapi setelah beberapa kali para remaja itu gelut, bolanya mengenai pengendara motor bahkan beberapa kali nyasar ke warung Cak Sueb dan memecahkan gelas, kegiatan main bola itu sudah mulai menjadi gangguan nyata.
Namun, tak ada yang berani menegur. Ini negara demokrasi, orang salah jarang ada yang mau mengaku salah, dan menegur anak-anak main bola, bisa melanggar HAM, bisa dilaporkan ke komisi pelindung anak nakal, bisa terjerat pasal tindakan tidak menyenangkan dan yang pasti, anak-anak sekarang takkan tinggal diam kalau ditegur.
Mahmud Wicaksono yang paling tak suka kebisingan, sebenarnya sudah lama gregeten. Mau menegur, pasti dilawan. Meski bola itu berkali-kali mengenai lapak cukurnya yang mengenaskan, ia masih menahan diri. Mau ditegur pasti ngece-ngece, takutnya Mahmud Wicaksono terpancing dan menempeleng mereka, bisa runyam urusannya. Hingga pada suatu sore, bola itu meluncur ke kaca jendela lapak Mahmud Wicaksono hingga pecah, lalu bola terpental ke meja warung Cak Sueb, dan lima buah gelas kopi tumpah dan pecah. Mahmud Wicaksono sudah berdiri untuk mempraktekkan jurus karatenya, tapi oleh Gus Karimun dipegang tanggannya. Diseretnya Mahmud Wicaksono ke lincak, lalu Gus Karimun menghampiri anak-anak yang main bola itu dengan langkah penuh wibawa.
“Sabar, Mas,” ujar Cak Sueb.
“Saya juga gregeten, tapi kalau grusa-grusu, masalah makin panjang. Mereka masih anak-anak di bawah umur, kesalahannya dilindungi undang-undang. Mungkin karena mereka tahu kalau dilindungi hukum, maka ndelurungnya dipol,” ujar lelaki tambun itu.
Mahmud Wicaksono menghela nafas dalam-dalam. sejenak sepertinya bermeditasi ala kadarnya. Ia benar-benar sabar ketika Cak Sueb membawakannya gelas kopi baru dan Cak Manap memberikan sebungkus rokok kesukannya.
“Biar Gus Karimun yang membereskan. Itu, sepertinya mereka sedang dinasehati,” kata Cak Manap.
“Ini masih bola nyasar. Bagaimana kalau seandainya ada gotri kulo nuwun, pelor ontong gedang bersilaturrahmi dan jedag jedug petasan profesional? Ngopi jadi tidak tenang, anak-anak tidur sering kaget, orang tua atau sakit tak nyaman, dan tentu saja menimbulkan trauma,” kata Cak Paijo LSM datar.
“Seperti di Gaza?” tebak Cak Manap.
“Bukan, ya di sekitar kita saja,” jawab Cak Paijo santai.
“Ah, mana ada Cak Paijo.”
“Lha kemarin, saudara-saudara kita di pesisir kan sempat keberatan karena hidup berdampingan dengan area latihan pertahanan.”
“Ya, demi kepentingan negara, sebaiknya sih mereka ikhlas. Kalau perlu relokasi ya, bisa,” ujar Cak Manap.
“Iya juga sih. Tapi kan, memindahkan permukiman itu kompleks urusannya. Apalagi kalau makam leluhur, tanah warisan atau mata pencaharian sudah di sana, ya tak sesederhana itu,” timpal Cak Paijo LSM hati-hati.
“Jangan bahas masalah itu, cak, serba salah,” ujar Mahmud Wicaksono tiba-tiba bersuara.
“Ya ndak. Kita cuma ingin urun rembug.
Barangkali masalah ini menemukan solusi yang sangat bijak. Demi nasionalisme sih, jangankan pemukiman, wong nyawa saja kita serahkan. Tapi ini kan menyangkut kenyamanan bersama. Kepentingan nasional tercapai, kepentingan rakyat juga terjamin,” jelas Cak Paijo LSM bijak.
“Secara tata kelola, lokasi itu memang sah milik negara, kok,” ujar Mahmud Wicaksono.
“Tapi mereka sudah di sana sejak turun temurun, Mas. Hak miliknya sah. Mereka juga sangat patuh pada kepentingan nasional. Tapi kok kadang-kadang was-was, takut ada kejadian tak terduga.” Kata Cak Paijo LSM.
“Coba bayangkan. Anak-anak balita kita sedang bermain, lalu tiba-tiba ada sesuatu yang nyasar? Meski tak cedera pun, pasti akan menimbulkan trauma. Atau coba bayangkan saat kita sakit gigi mendengar dentuman-dentuman. Kan tidak nyaman?”
“Masalah ini memang sudah lama menjadi polemik, tapi belum ada win-win solution. Di lain sisi kepentingan nasional, di lain sisi kepentingan rakyat. Bukankah rakyat adalah prioritas negara?” Kata Mahmud Wicaksono, seakan bertanya pada dirinya sendiri.
“Kalau menurut saya sih, rakyat harus berkorban, bermigrasi ke daerah yang lebih netral dan aman. Karena bagaimana pun, negara lebih berhak.”
“Tapi ini menyangkut ratusan, atau bahkan mendekati ribuan orang, Mas. Dulu sudah ada wacana relokasi, tapi kan masih belum.”
“Entah lah, Cak. Riskan ngomong soal hal ini. Bukan apa-apa, soalnya ini kepentingan negara, apalagi lokasi ini sah secara hukum milik negara,” kata Cak Manap.
“Ya paling tidak, obrolan kita barangkali sampai kepada para pemimpin, dan beliau-beliau bisa mencarikan solusi yang sangat bijaksana.”
“Tapi kalau dipikir-pikir sih, was-was juga tinggal di daerah seperti itu, wong bola nyasar saja bikin resah, apalagi….”
*artikel ini hanyalah fiksi belaka, jika ada kesamaan nama dan tokoh itu hanya kebetulan semata





















