Membongkar Warna: Intelektual Probolinggo Menafsir Ulang Teologi Anti-Rasisme

33

Probolinggo (WartaBromo.com) — Di tengah menguatnya identitas dan sentimen primordial, sekelompok intelektual di Probolinggo membongkar ulang akar rasisme dari sudut pandang teologi.

Pesan itu mencuat dalam peluncuran dan bedah buku Melampaui Warna Kulit: Jejak-Jejak Teologi Anti-Rasisme dalam Kristen dan Islam untuk Indonesia, karya akademikus Universitas Nurul Jadid, Dr. Nurul Huda, yang digelar Jaringan Intelektual Nahdliyin (JIN) di Kraksaan, Minggu (16/11/2025).

Buku setebal hampir 500 halaman itu tidak hanya menelisik rasisme sebagai fenomena sosial, tetapi juga sebagai konstruksi teologis yang abai terhadap pengalaman korban.

Peneliti sosial, Dr. Achmad Fawaid, hadir sebagai pembanding, menghidupkan diskusi yang berlangsung selama tiga jam itu.

Nurul Huda memetakan rasisme melalui dua figur yang pernah merasakan langsung penindasan: James H. Cone, teolog kulit hitam Amerika, dan Farid Esack, aktivis Muslim di era apartheid Afrika Selatan. Keduanya sama-sama mengubah doktrin agama menjadi alat perlawanan.

“Agama nyaris selalu dibaca dari posisi pihak yang berkuasa. Cone dan Esack menggeser titik pijaknya: agama harus berpihak pada mereka yang ditindas,” kata Huda.

Ia menilai, warisan pemikiran itu relevan dibawa ke Indonesia yang tengah berhadapan dengan persoalan lama: prasangka terhadap warga Papua dan etnis Tionghoa.

Indonesia bukan negara asing bagi praktik rasisme. Indeks Mundi pernah menempatkan Indonesia di peringkat ke-14 negara paling rasis di dunia.

Komnas HAM mencatat lebih dari seratus kasus pelanggaran berbasis ras dan etnis sepanjang 2011–2018.

“Diskriminasi tidak selalu dalam bentuk kekerasan. Ia bisa hadir dalam tatapan, gurauan, atau asumsi yang diwariskan,” ujar Nurul.

Dalam konteks Indonesia, ia menawarkan kerangka teologis baru yang bertumpu pada pengalaman korban lokal.

Sekaligus memanfaatkan modal ideologis negara: Pancasila dan UUD 1945 untuk membangun teologi kesetaraan yang relevan dengan masyarakat majemuk.

Achmad Fawaid memperdalam diskusi dengan konsep everyday racism—praktik diskriminatif yang begitu halus sehingga sering kali tak disadari.

Ia memberi contoh sederhana: rasa heran ketika melihat seseorang dari kelompok minoritas tampil cerdas.

“Keheranan itu mengungkap ekspektasi rendah. Rasisme bekerja lewat kebiasaan kecil semacam ini,” ujar Fawaid.

Diskusi yang berlangsung di sebuah kafe kecil di Kraksaan itu didukung Bedug Institute, PT Gasgus Cargo Nusantara, dan PC IKA PMII Probolinggo.

Suasananya cair, namun kritik yang mengemuka tajam: isu rasisme tak akan selesai jika hanya berhenti di ruang akademik.

Lewat buku Melampaui Warna Kulit, Nurul Huda berharap muncul pembacaan baru terhadap agama sebagai kekuatan yang membebaskan, bukan membatasi.

“Yang kita lawan bukan warna kulit, melainkan cara pandang yang mengkotak-kotakkan manusia,” katanya. (saw)

Website with WhatsApp Message
Follow Official WhatsApp Channel WARTABROMO untuk mendapatkan update terkini berita di sekitar anda. Klik disini.