Rejeki dari “Pertengkaran”

32

Indonesia ini sorga, makanya semua orang ingin merebutnya. Dan selama pesantren dan PBNU masih ada, tidak semudah itu Ferguso. Kaum kapitalis, komunis, radikal kanan, radikal kiri bahkan radikal tengah, kemecer melihat Indonesia.

Oleh: Abdurozaq
Sejak tadi, Gus Karimun nampak sumringah dan bungah. Lebih sumringah daripada biasanya. Setiap saat Gus Karimun memang menjalani hidup dengan penuh kegembiraan. Namun kali ini, keceriaan di wajahnya nampak berkali-kali lipat. Selain mentraktir kopi dan membagikan berpak-pak rokok kepada para sahabatnya, bakso Cak Somat pun dihadangnya. Dipaksa berhenti di depan warung dan semua orang harus mengambil jatahnya. Kalau para pelanggan warung sudah kelempoken, boleh membungkus untuk anak istri di rumah. Kalau bakso Cak Somat belum habis juga, siapa pun yang lewat di jalan harus dicegat, wajib makan atau membungkus bakso. Padahal Gus Karimun takkan pernah nyaleg sepanjang hidupnya. Apalagi menjadi calon kades. Takkan pernah.

“Slametan apa ini gus?” celetuk Wak Takrip penasaran.

“Niatnya maulidan, sekaligus nyelameti kita semua, bangsa ini, hajat besar bangsa ini, dan apapun yang baik-baik. Ini bukan slematan saya, tapi slematan sampeyan semua,” jelas Gus Karimun seraya mesem lebar-lebar.

“Lho, yang mentraktir kan sampeyan, gus?” heran Mahmud Wicaksono.

“Saya hanya kran, itupun kebetulan. Dan mohon maaf, hanya secangkir kopi dan rokok sak lencer.”

“Lho, ini bukan hanya, gus. Ini sudah istimewa. Sampeyan memberikannya kan dengan cinta, maka kami menyeruput kopi, menghisap rokok dan makan baksonya sangat nikmat. Rasa nikmatnya terasa sampai ruh. Apalagi tak ada hutang budi, tak harus mencoblos sampeyan karena sampeyan takkan pernah nyaleg,” cerocos Mahmud Wicaksono seraya menghisap rokok Surya 12 dengan gaya seperti pecandu yang sedang sakau. Sesekali, bahkan menghisap rokoknya dengan gaya Slash Guns N Roses saat main gitar dalam video klip November Rain.

“Halah, bisa saja sampeyan ini. Kalau mau, ambil rokok satu pak lagi buat melekan nanti malam.” Maka tak sungkan, Mahmud Wicaksono langsung gerak cepat meminta satu pak lagi rokok Surya 12 kepada Cak Sueb. Tak ada yang moyoki, karena semua tahu jika Mahmud Wicaksono memang selalu sepi pelanggan.

“Ini nyelameti islahnya para kiai kita di PBNU kemarin, mas,” jelas Gus Karimun kemudian.

“Sampeyan kan tahu, beberapa waktu lalu ada beda pendapat antara kiai kita di PBNU. Dan kemarin, beliau-beliau sudah islah, sudah bersilaturrahmi di pesantren Lirboyo. Fa bi ayyi ala’i Rabbikuma takdzziban?”

“Saya juga prihatin gus, masa PBNU malah korupsi dana haji, mengelola tambang…..”

“Lha, iya kan? Orang sekelas sampeyan saja juga termakan narasi para buzzer kan? Ternyata benar, kebohongan yang diulang-ulang, lama-lama dianggap kebenaran,” kata Gus Karimun.

“Lho, PBNU kan sempat diperiksa KPK, gus?” celetuk Cak Paijo LSM.

“Benar, tapi hanya sebagai saksi. Belum ada bukti valid yang mengatakan aliran dana haji ke PBNU. Kalau memang benar, pasti KPK sudah menetapkan tersangka. Dugaan korupsi dana haji hanya di kementerian religius, tapi entah bagaimana kok bisa-bisanya PBNU disangkut pautkan. Sedangkan oknum ustadz sebelah yang mengembalikan dana syubhat haji karena terlanjur ketahuan, dinarasikan sebagai pahlawan,” jelas Gus Karimun seraya tersenyum penuh arti.

“Tapi PBNU kan mengelola tambang, gus?” Celetuk Cak Paijo LSM.

“Belum. PBNU memang dijebak dengan diberi jatah lahan penambangan. Tapi jangankan menerima keuntungan, wong mbabati suket di area tambang saja belum, kok.”

“Tapi di media sosial sudah ramai, gus,” kata Cak Paijo LSM.

“Media sosial kok dipercaya. Sekarang ini, jangankan media sosial yang dikelola perorangan, wong media mainstream yang konon profesional saja beritanya sesuai kepentingan. Meski faktanya A, kalau godfather-nya bilang Z, ya harus diberitakan Z.”

“Nama PBNU sudah hancur, gus,” celetuk Mahmud Wicaksono.

“Ya karena memang begitu skenarionya, Mas. Untuk menghancurkan Indonesia, kunci terakhirnya adalah membubarkan pesantren dan PBNU. Masa kita tidak curiga, kenapa media sosial tiba-tiba serentak menyuarakan kebencian terhadap pesantren, kiai dan PBNU? Menurut para intelektual muda santri, itu karena ada yang membiayai, ada buzzernya, bahkan algoritma dipakai. Indonesia ini terlalu kaya, sementara negara-negara yang katanya super power, sudah mulai bangkrut. Makanya Indonesia jadi rebutan. Maunya dibubarkan, lalu dibagi-bagi.” Wak Takrip terhenyak mendengar penjelasan Gus Karimun.

“Indonesia ini sorga, makanya semua orang ingin merebutnya. Dan selama pesantren dan PBNU masih ada, tidak semudah itu Ferguso. Kaum kapitalis, komunis, radikal kanan, radikal kiri bahkan radikal tengah, kemecer melihat Indonesia. Makanya, segenap akal busuk digunakan untuk adu domba. Media sosial dibiarkan begitu liar, ujaran kebencian tidak di-banned, rasisme malah dinaikkan algoritmanya. Tujuannya satu, Indonesia bubar, lalu mereka bancakan. Setiap pulau dibagi-bagi. Baik kekayaan alamnya, maupun ideologinya.”

“Ngeri ya, gus?” timpal Cak Paijo LSM.

“Coba kita simak, bagaimana para konten kreator dan pegiat media sosial menjelek-jelekkan PBNU? Ngeri. Tak beradab. Targetnya agar masyarakat membenci kiai, membenci NU, membenci pesantren bahkan membenci agama seperti orang Eropa. Banyak konten kreator yang menghina PBNU dengan hinaan paling keji, menyoraki beda pendapat para kiai di PBNU. Bahkan mereka yang bukan anggota NU, bahkan tidak beragama Islam, ikut-ikutan mem-bully.”

“Tapi, NU itu ternyata sakti juga. Jangankan saat membangun, saat “bertengkar” saja masih memberi rezeki kepada para konten kreator. Dengan membuat konten-konten tentang beda pendapat para kiai NU, berapa ratus juta uang adsens yang didapat oleh para konten kreator itu. Saat PBNU beda pendapat kemarin, penghasilan mereka dobel-dobel. Selain mendapat gaji rutin dari penjenenganipun George Soros, dari kerja sebagai buzzer, mereka juga dapat banyak dolar dari adsens.”

“Tapi, alhamdulillah. Meski konten-konten yang menyudutkan PBNU masih belum dihapus dan masih menghasilkan dolar, PBNU sudah islah. Sudah satu barisan dan sependapat lagi. Para kiai kok dianggap wong embongan seperti kita. Para kiai itu, berbeda pandangan seperti apapun, kalau sudah ya sudah. Setelah islah, ya kembali ngopi, ngudut dan guyon lagi.”

*Penulis adalah alumni IPNU-PMII, anggota ISNU dan LTNNU Kab. Pasuruan

Website with WhatsApp Message
Follow Official WhatsApp Channel WARTABROMO untuk mendapatkan update terkini berita di sekitar anda. Klik disini.