Yuk, Berwisata ke Museum: Catatan di Hari Museum Nasional

1978

Oleh: Widya Andriana

Momentum itu terjadi pada Mei 2015 silam. Ratusan pengelola museum dari seluruh Indonesia menggelar pertemuan di Kota Malang. Hasil pertemuan itu pun cukup monumental; sepakat menetapkan tanggal 12 Oktober sebagai Hari Museum Indonesia.

Penetapan tanggal 12 Oktober itu merujuk pada gelaran Musyawarah Museum se Indonesia (MMI) 12 Oktober 1962 di Yogyakarta. Itu adalah kali pertama para pengelola musem menggelar temu akbar se-nusantara.
Separo abad lebih pertemuan itu telah berlangsung. Kini, museum di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup pesat. Hingga saat ini tercatat lebih dari 350 museum yang telah terdaftar di Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman. Dengan ragam keunikannya.

Salah satu museum yang layak untuk dikunjungi karena keunikan koleksinya adalah museum Etnografi atau lazim oleh orang kebanyakan disebut dengan Museum Kematian. Museum Etnografi ini terletak di Universitas Airlangga (kampus B) di Jalan Darmawangsa Dalam, Surabaya. Lokasi museum tepat di depan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik dan bernaung di bawah Departemen Antropologi.

Baca Juga :   Polres Pasuruan Catat 3.684 Pemotor Tak Kenakan Helm selama Operasi Patuh Semeru 2018

Kehadiran museum itu seolah ingin mendekontruksi arti kematian. Sebab, bagi sebagian orang, membicarakan tentang kematian dirasa menakutkan. Karena kematian berhubungan dengan kesedihan, perpisahan, rasa kehilangan, atau hal yang tak kasat mata seperti hantu sehingga tabu untuk dibicarakan.

Kematian menjadi bagian penting dalam kehidupan manusia. Kematian bisa menceritakan tentang sosial budaya suatu masyarakat yang tercermin dari ritual-ritual yang dilakukan dalam prosesi kematian.
Di Museum Kematian Universitas Airlangga ini, kita dapat menyaksikan bahwa kematian hadir dalam beragam makna. Begitu kita memasuki pintu masuk museum suasana “kematian” begitu kental. Bukan saja oleh aroma dupa yang dibakar, tapi juga ornamen replika berupa tengkorak dan kerangka manusia bergaluntungan di langit ruangan.

Baca Juga :   OTT KPK Tak Pengaruhi Proyek SPAM Umbulan

Meskipun begitu, suasana dalam museum didesain sedemikian rupa supaya tidak nampak menyeramkan, cozzy dan sejuk. Tidak ada tiket masuk ke museum karena memang museum ini dibuka gratis untuk siapa saja yang ingin berkunjung. Ada 2 petugas museum yang akan menyambut kita dengan ramah, membantu dan mengantarkan kita berkeliling museum.

Sebagai Pusat Kajian Etnografi di bawah Departemem Antropologi FISIP Unair, membantu pengunjung untuk memahami kematian dalam siklus hidup manusia. Disini, pengunjung yang datang bisa mengerti berbagai macam koleksi alat-alat saat prosesi, replika mumi dari berbagai macam suku di Indonesia, replika makam dari Trunyan, replika mumi dari Toraja. Bahkan, juga disediakan sebagai foto booth bagi pengunjung museum, tengkorak dan rangka asli manusia, replika tengkorak manusia jaman purba.

Dan, yang tak kalah menarik adalah tampilan Infografis colourfull yang berhubungan dengan kematian. Semuanya ditujukan untuk pembelajaran mengenai kematian dan bagaimana raga manusia setelah kematian terjadi. Koleksi-koleksi ini diperoleh dari hibah beberapa tokoh yang konsern terhadap antropologi juga hibah kepolisian.

Baca Juga :   Tukang Tambal Ban Siap Jadi Bupati Pasuruan! Janji Mengenak-enakkan

Ide pendirian Museum ini berasal dari dua orang sahabat yang sama-sama menukuni ilmu antropologi. Adalah Dr.drg.A.Adi Sukada ahli antropologi budaya dan Prof. Dr. Habil Josef Glinka,SVD ahli antropologi ragawi yang ingin menyatukan konsep itu kedalam suatu pusat kajian (museum). Disepakati lah perpaduan antara antropolgi budaya dan antropologi ragawi, suatu tema tentang kematian.

Dalam sebuah kematian, unsur sosial budaya akan tampak pada saat proses pemakaman, misalnya jumlah hewan yang akan disembelih pada saat prosesi (suku Toraja) atau megah-nya suatu upacara (ngaben di Bali), menunjukkan status sosial di masyarakat. Antropologi ragawi akan menjelaskan apa yang terjadi pada raga saat kematian terjadi.