Keris: Antara Klenik dan Metalurgi

3008
NOVEMBER 2005 bisa jadi adalah momentum terpenting terhadap eksistensi keris. Sebab, saat itulah, tanpa melalui perdebatan panjang, keris yang merupakan sebuah karya adiluhung diakui sebagai warisan budaya dunia oleh Unesco, badan milik PBB yang membidangi pendidikan dan kebudayaan. Keris ditetapkan sebagai produk budaya yang harus dilestarikan.

KEPUTUSAN Unesco yang mengakui keris sebagai warisan budaya dunia itu memang cukup beralasan. Selain proses pembuatannya yang penuh dengan perjuangan, banyak makna filosofis yang terkandung di setiap bagian keris.

Alasan itu pula yang menjadi pertimbangan. Bahkan, dibanding produk budaya lainnya, keris bisa jadi adalah satu-satunya produk budaya yang diakui Unesco, yang bukan saja pada unsur bendawinya, tapi juga nonbendawinya (intangible).

Sayangnya, saat dunia luar memberikan pengakuannya secara utuh, situasi sebaliknya justru terjadi di negeri sendiri. Hingga kini, sebagian besar masyarakat hanya melihat keris sebagai benda yang sarat dengan klenik. Tak lebih. Imbasnya, banyak sisi-sisi lain dari prespektif metalurgi yang tak terungkap ke permukaan.

Baca Juga :   Tekan Kematian Ibu dan Bayi, Probolinggo Canangkan Kampung KB

“Padahal, ada banyak makna filosofis yang tersimpan di balik setiap bentuk keris. Semakin orang melihat dari sisi mistik atau kleniknya, maka keris akan semakin kehilangan nilai-nilai yang membumi,” kata Kanjeng Raden Arya (KRA) Natakusuma Cakra Hadiningrat kepada WartaBromo, akhir bulan lalu.

Pegiat budaya yang akrab disapa Mpu Purwo sendiri termasuk orang yang tidak sepakat bila keris hanya dilihat dari unsur mistisnya. Sebagai sebuah produk budaya, keris dibuat dengan beragam metode. Si pembuat pun, kata dia, harus paham lintas disiplin keilmuan. Termasuk, memahami karakter berbagai jenis logam.

Bagi Mpu Purwo, keris merupakan produk seni budaya, keris menyimpan banyak kerarifan lokal.  Karena itu, seyogyanya ia tidak hanya dipandang sebagai senjata yang kering makna. “Melihat keris hanya dari sisi mistiknya, akan menghilangkan pusaka itu dari aspek filosofisnya serta menghilangkan kearifan lokal yang ada di balik keris,” jelasnya.

Baca Juga :   Jadi Teknisi HP, Terduga Teroris di Kademangan Dicurigai Ahli Perakit Elektronik Peledak

Sayangnya, bagi Mpu yang tinggal di Dusun Parelegi, Desa Purwodadi, Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Pasuruan ini, pemahaman seperti itu belum banyak dimiliki oleh sebagian besar masyarakat. Bahkan, sampai saat ini, ia masih kerap menjumpai sejumah tokoh yang melihat keris dari pendekatan klenik-nya. Imbasnya, pada tahap yang paling parah, menyimpan keris, indentik dengan perbuatan syirik.

“Tapi, biarpun begitu, keris ini mempunyai nilai non bendawi, bahwa keris itu juga suatu senjata spiritual dan tidak hanya sebagai senjata perang saja,” ujarnya.

Menurut Mpu Purwo, pada zaman dahulu keris mempuyai dua fungsi, yaitu sebagai senjata perang (Keris Tayuhan) dan sebagai pusaka (Keris Ageman). Nah, keris pusaka itu memang sengaja dibuat bukan untuk senjata perang tapi sebagai spiritual, atau jimat.

Baca Juga :   Tulang Belulang di Pelabuhan Mayangan Dikirim ke Labfor Polda Jatim

Sebagai pusaka, keris memang berbeda dengan senjata tajam lainnya. Karena itu, untuk membuatnya, tidak sembarang mampu. Diperlukan kemampuan khusus bagi seorang mpu (pembuat keris, Red) untuk menciptakan sebuah keris. Sebab, selain sebagai senjata, keris juga berfungsi sebagai ageman. Inilah yang membedakan keris dengan senjata tajam lainnya, seperti pisau atau pedang.

Keris sendiri dibuat dengan benda-benda yang datang dari ilahi, misal meteor benda langit yang datang ke bumi dan besi, sebagai benda logam yang ada di bumi. Melalui proses yang penuh peluh, percampuran berbagai logam itulah yang kemudian diolah menjadi keris.

Menurut Mpu Purwo, pemahaman karakter masing-masing logam diperlukan guna menyesuaikan energi yang dibutuhkan. Sebab, masing-masing logam memiliki ion-ion atau energi yang boleh jadi berlawanan atau tidak sesuai dengan yang diinginkan pemegang keris.