Dagelan. Eh, Pengajian

1204

”Tapi umat terlalu gerah jika kearifan dituturkan dengan cara konvensional seperti biasanya, Cak”. Kata Cak Mukri menimpali.

”Tapi kan tidak harus campur aduk seperti itu, Cak? Harus jelas mana pengajian dan mana dagelan. Sebagian dai sekarang takut kehilangan ”order” jika materi ceramahnya tak lucu. Saking parahnya, sembilan puluh lima persen melenceng dari tema karena terlalu memanjakan para hadirin dengan banyolan. Bahkan tak jarang, masalah amplop atau uang saku sebagai pembicara dijadikan materi guyonan.”

”Ah, Sampeyan lupa ya kalau Kanjeng Sunan Kalijaga bahkan menggelar pengajian sambil wayangan dan Kanjeng Sunan Bonang sambil memainkan gamelan?”

”Pokoknya saya kurang setuju kalau pengajian harus berubah fungsi menjadi hiburan.”

Baca Juga :   1.239 Surat Suara DPRD Provinsi Didapati Rusak

”Umat ini sudah terlalu pening, Cak Manap. Jadi jika mau menasehati mereka pun harus dengan cara dagelan.”

” Ya nuwun sewu, cak. Terlalu jauh kalau kita bandingkan para dai sekarang dengan para sunan. Bainas sama’ was sumber minyak jauhnya. Sekarang materi semata kok yang dijadikan ukuran. Jabatan dai sering dianggap sebagai matapencaharian. Kadang, seorang dai tak mau datang lagi kalau pernah diundang amplopnya kurang tebal,”

”Nyebut, Cak Manap! Para dai itu juga manusia, cak. Butuh penghidupan seperti kita. Memangnya mudah momong umat? Kita ikut seminar tak jelas juntrungnya saja mesti membayar ratusan ribu per orang, lha ini, kita memberi uang transport dari urunansaja Sampeyan undat-undat begitu.” Cak Manap terlihat komat-kamit membaca istighfar dan syahadat.

Baca Juga :   Pria Asal Gondangwetan-Pasuruan Ditemukan Tak Bernyawa di Toilet SPBU di Pekalongan

”Pokoknya saya tidak setuju kalau ada pengajian umum campur dagelan.”

”Lha kalau para hadirin ngantuk, gimana?”

”Ya, materinya harus menarik.”

”Kita orang Indonesia, cak. Jawa, lagi. Dagelan adalah salah satu cara kita menertawakan hidup. Rakyat sudah jengah dengan permainan sirkus di Senayan, pilkadal dan masalah beras.”

”Oke, boleh ada sedikit banyolan asal cerdas dan tidak saru seperti gaya Kiai Anwar Mujahid, bukan seperti dakocan yang tiap pagi berlompatan di tivi swasta itu. Bukannya Islam menjadi indah, tapi Islam akan menjadi lucu.”

”Oalah, cak, cak!” Untungnya Cak Saepul datang memesan kopi. Cak Manap langsung menyelinap ke dalam warung untuk kembali menyeduh kopi. Beberapa hari setelah jagonya kalah dalam pilkada, Cak Manap jadi suka nyinyir. (Abdur Rozaq)