Tafsir Wapres Untuk Nasib Sendiri

1430

Yang satu lagi: mahasiswa S3 asal Cirebon. Namanya: Said Aqil Siradj.

Setelah bermingu-minggu bergaul kami pun tahu. Keduanya ternyata berbeda sikap. Dalam hal keagamaan.

Kami tidak akan bertanya pada Suardi tentang boleh atau tidak menghidupkan tv di kantor kami. Kami sudah tahu jawabnya: tidak boleh. Haram.

Maka kami menanyakan itu kepada Said Aqil Siradj. Kami sudah tahu jawabnya. Boleh.
Seperti itu pula bedanya antara  Said Aqil Siradj dengan Ma’ruf Amin.

Maka ada guyonan di kalangan NU. Kalau mau bertanya yang tidak boleh tidak boleh bertanyalah ke Kyai Ma’ruf Amin. Kalau mau bertanya yang boleh-boleh bertanyalah ke Kyai Said Aqil Siradj.

Baca Juga :   Ini Cara Hary Tanoe Cari Suara Untuk Prabowo - Hatta

Itu pula sebabnya Kyai Ma’ruf Amin di kubu 212. Sedang Kyai Said Aqil Siradj di luarnya.

Akan hal Sandiaga Uno saya kenal lama juga. Dalam kaitan dengan bisnis. Saya di bisnis tradisional. Ia di bisnis modern. Saya bisnis bumi. Ia bisnis langit.

Kalau ada kesulitan di bumi minta tolongnya ke langit.

Sandi menawarkan pertolongan itu. Dengan otak cerdasnya. Ia masih sangat muda. Saat itu. Belum 30 tahun.

Sejak itu saya kagum pada anak muda. Siapa saja. Yang ternyata lebih pinter dari yang tua. Tapi Sandi bukan orang sombong. Di mana-mana ia bilang: bisnisnya mulai berkembang setelah bertemu saya itu.

Tentu Sandi hanya merendah. Kenyataannya ia memang lebih sukses.

Baca Juga :   "Kematian Pendaki Semeru karena Hipotermia"

Jadi, saya akan mendukung siapa?

Lho. Mengapa ada pertanyaan seperti itu?

Memangnya Pilpresnya besok pagi?

Saya sebaiknya memutuskan untuk bekerja seperti biasa. Tidak ada yang memikirkan nasib kita lebih dari kita sendiri. (dahlan iskan)