Nana Begitu Dibela Anak Autisnya

916

Maka saya pun mencarikan jalan keluar. Saya ajak dia meninjau lokasi yang saya incar.

Tiba-tiba saya mendengar ini: Nana meninggal dunia.

Terkena kanker pankreas. Yang tidak pernah dia rasakan.

Kalah dengan antusiasmenya.

Saya pun melayat ke rumahnya. Setelah saya menjadi pembicara di seminar internasional Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Indonesia.

Tiba di rumahnya saya disambut seorang lelaki tua di kursi roda. ”Saya ayah Nana,” katanya lirih. ”Nama kita sama, Dahlan,” tambahnya.

Oh makanya nama lengkap Nana adalah Nana Dahlan. Ia seorang pensiunan jaksa.

Tapi jenazah Nana lagi dibawa ke masjid. Siap-siap dimakamkan setelah salat dzuhur.
Saya pun ke masjid. Berdoa di dekat kerandanya.

Baca Juga :   Curi Kambing Dimasukkan Karung, Arek Kejayan Dimassa Warga

Lalu ada anak muda yang memperkenalkan diri. ”Nama saya Rangga,” katanya.
Itulah anak Nana yang dulunya autis. Sekarang semester pertama di fakultas hukum sebuah perguruan tinggi swasta.

Dari gaya bicaranya masih terlihat sisa-sisa autisnya.

”Mengapa memilih fakuktas hukum?,” tanya saya.

”Saya mau jadi jaksa. Saya akan hadapi bapak saya di sidang-sidang,” jawabnya.
Terasa pahit kata-katanya. Begitu tinggi pembelaan pada ibunya.

”Senang di fakultas hukum?” tanya saya lagi.

”Tidak,” jawabnya.

”Kesenangan Anda apa?,” tanya saya.

”Menciptakan permainan game di komputer,” jawabnya.

”Pakai software apa?,”

”Yang gratisan. Seperti Opentoonz, Krita, Shotcut dan Blender 3D,” jawabnya.

Ia pun sangat antusias membicarakan software apa saja. Di penciptaan game itu. Yang saya tidak sepenuhnya mengerti.

Baca Juga :   Bahayakan Pengguna Jalan, APK Caleg Diturunkan Paksa  

Begitu cerdas anak ini. Saya menjadi was-was: jangan-jangan lingkungannya tidak memahami kecerdasannya.(*)