Ingat Anas, Shangrila Dan Lijiang

863

Saya merasa beruntung. Bisa sekaligus ke Lijiang dan Shangrila. Dalam satu harmal. Soal tiket hangus toh sudah biasa.

Saya pun minta dicarikan hotel di Lijiang. “Yang sekelas bintang empat,” kata saya. Khawatir. Dikira gak punya uang. Hanya karena bawaan saya tas kresek.

Dapat. Saya diminta menunggu jemputan.

Yang menjemput ternyata keren sekali. Anak muda. Seperti bintang film kungfu. Dengan mobil CRV putih. Masih baru.

Saya sempat ge-er. Jangan-jangan ini bos hotelnya sendiri.

Saya duduk di depan. Menghormatinya. Sambil agar bisa ngobrol.

“Apa nama hotelnya,” tanya saya.

“Dekat sekali,” jawabnya. “Tidak sampai 10 menit.”

Pembicaraan terhenti. HP-nya berdering. Ia sibuk dengan HP-nya.

Baca Juga :   Produksi Garam Pasuruan Merosot

Mobil memasuki perumahan. Komplek ini masih baru. Ada gerbang perumahannya. Khas Tiongkok.

Ia masih terus cang-cing-cung. Lewat HP-nya. Saat mobil berhenti di pinggir jalan. Di depan sebuah rumah. Rumah biasa. Rumah tangga.

Pantas saja. Ketika ditanya apa nama hotelnya dijawab “Dekat sekali”.

Saya mendapat kamar di lantai atas. Satu kamar. Yang dua kamar masih kosong.

Sebelum tidur saya turun ke lobi. Eh, ke ruang tamu. Tuan rumahnya lagi asyik.

Sopir tadi. Pemilik hotel beneran, ternyata.

Melihat saya turun, mereka langsung menyapa. “Ni hao,” kata mereka hampir serentak. Lantas menyilakan saya duduk. Untuk ikut ngrumpi. Sambil makan kwaci.

Saya dibikinkan teh. Tekonya ada di meja. Satu set dengan pemasak air. Kulit kwaci terus dilempar. Tuangan teh terus mengalir.

Baca Juga :   Komunitas Sedekah Kumpulkan Dana di Perempatan Untuk Bantu Korban Longsor Ponorogo

Saya yang banyak bertanya. Tentang home stay itu. Mereka bertanya hal-hal yang sederhana: apa bahasa di negara saya dan mengapa saya bisa berbahasa mandarin.

Obrolan pindah ke soal uang. Di Indonesia menggunakan uang apa.

Saya mengeluarkan tiga lembar rupiah. Dari dalam dompet. Yang 10.000-an. “Wow,” ucap wanita itu terbelalak. Sambil dua telapak tangannya menutup muka. “一万块钱,” teriaknya. Sambil menatap saya. Mengira saya orang kaya.

Di Tiongkok lembaran terbesar adalah 100. Melihat nol empat  matanya hijau.

Saya kasihkan uang itu. Satu orang satu lembar. Mereka ramai-ramai menolak. “Tidak mau. Ini banyak sekali,” katanya.

Saya pun mengeluarkan uang sapu jagat: 100.000-an.

Baca Juga :   Keseruan Agustusan ala Rutan Bangil

Kali ini mereka tidak kaget lagi. Justru tertawa ngakak. Saling tuding. Di antara mereka. Saling ejek.

Begitulah.

Saya permisi mau tidur. Satu bungkus kwaci diserahkan. Untuk saya bawa. Masih ditambah apel, jeruk dan apel-apelan sebesar bola bekel yang renyah itu. Satu kresek.

Tidak mungkin saya mengalami itu. Di hotel bintang empat sungguhan. (*)