Catat 66 Kasus, DBD Masih jadi Ancaman

932

Pasuruan (wartabromo.com) – Kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kabupaten Pasuruan masih menjadi ancaman. Selama 3 bulan terakhir, Dinas Kesehatan Kabupaten Pasuruan mencatat, ada 66 kasus DBD yang menghantui warga Pasuruan.

Hal tersebut diungkapkan oleh Agus Eko Iswahyudi, Kepala Bidang Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit (P2P) Dinkes Kabupaten Pasuruan. Agus mengaku, meski jumlah masih cukup tinggi, selama 3 tahun terakhir, grafik kasus DBD justru menurun.

Dari catatan disebutkan, 764 kasus DBD terjadi selama tahun 2016. Sementara pada tahun 2017, turun menjadi 317 kasus. Lalu kembali turun di 2018 menjadi 191 kasus.

“Tahun 2016 itu adalah puncak tinggi-tingginya kasus DBD, karena naiknya cukup banyak dari 686 kasus  di tahun 2015. Kalau naik berarti ada banyak PR yang harus segera diselesaikan, agar di tahun berikutnya tidak terus meningkat,” kata Agus, Jumat (22/03/2019).

Baca Juga :   Soroti Pengangguran, Ini Ancang-ancang Gus Irsyad untuk Pasuruan

Sementara itu, warga meninggal yang disebabkan nyamuk Aedes Aegypti ini juga menurun. Pada tahun 2018, jumlah warga yang meninggal sebanyak 28 orang. Lalu turun menjadi 27 orang di tahun berikutnya. Kemudian pada 2017 menjadi 13 warga saja. Di tahun 2018 jumlah warga meninggall bahkan turun drastis menjadi 1 Dewasa dan 1 anak-anak.

“Demam berdarah itu pola musiman, dan memang menyerang di saat musim penghujan. Maka dari itu, untuk bisa menangkal penyebaran nyamuk DBD semakin luas, harus dilakukan langkah antisipatif,” terangnya.

Penurunan ini imbas dari beberapa upaya yang telah dilakukan Pemkab Pasuruan. Diantaranya dengan adanya Gemas Darling, atau Gerakan Masyarakat Sadar Lingkungan. Ada lagi Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) yang bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat dalam menjaga kebersihan lingkungan.

Baca Juga :   14 Pengurus Baru DPC Gapeksindo Kabupaten Pasuruan Dilantik

“Kami memberlakukan satu rumah satu kader jumantik atau juru pemantau jentik.  Artinya, dalam setiap rumah, ada satu kader yang menjadi jumantik atau juru pemantau jentik. Dampaknya cukup besar, terbukti dengan menurunnya kasus DBD,” sambung dia.

Program ini menghasilkan jumlah kader mencapai 350 orang. Jumlah ini akan terus bertambah, dengan menyasar beberapa santri di Pondok Pesantren yang masuk dalam daerah endemis. Diantaranya Winongan, Beji, dan Gempol.

“Setiap desa punya kader jumantik yang tugasnya untuk mengawal bagaimana jumantik di rumah bisa melaksanakan himbauan kita. Untuk daerah tinggi seperti Puspo, Tosari dan Tutur tidak ada kasus DBD, lantaran berada di di atas 1200 m di atas permukaan air laut. DBD tidak bisa menyerang di daerah pegunungan yang sangat tinggi,” tutupnya. (mil/may)