RUU KUHP Membelenggu Wartawan

1102

Jakarta (WartaBromo.com) – Dewan Pers soroti sejumlah pasal karet yang tertuang dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP). Pasal-pasal itu dinilai menjerat dan membelenggu kebebasan wartawan.

Sorotan disampaikan, di antaranya oleh anggota Dewan Pers, Agung Darmajaya pada diskusi Polemik MNC Trijaya Network bertajuk ‘Mengapa RKUHP Ditunda?’ di D’consulate, Menteng, Jakarta, Sabtu (21/9/2019).

“Bicara kebebasan pers, menyampaikan gagasan pendapat, di satu sisi terbelenggu pidana, artinya tumpang-tindih,” ujar Agung.

Ia mencatat sejumlah pasal karet, yang menurutnya kontraproduktif lantaran tumpang tindih dengan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Dijelaskan, beberapa pasal karet salah satunya adalah Pasal Penghinaan Presiden.
Terminologi penghinaan, menurutnya tidak jelas, bahkan bisa ditafsirkan secara sembarang, sehingga mengancam aktivitas seorang jurnalis.

Baca Juga :   Kalimat Hasbullah Ancam Mati Wartawan Dinilai Sangat Berbahaya

“Tidak perlu sekelas presiden, Anda dikritik ya itu risikonya, kecuali masuk ke ranah pribadi,” ucap Agung heran.

Agung menegaskan, perlunya DPR RI memberikan pemahaman kepada masyarakat secara luas, soal produk hukum yang ingin diputuskan.

Ujung dari yang dikemukakan Agung adalah, RUU KUHP rawan digunakan sejumlah pihak menjerat seorang jurnalis dengan karya yang telah dikerjakannya.

Berkenaan dengan pasal karet ini, semua pihak diminta dapat memberi solusi. Dikatakannya, ini bukan persoalan menang kalah lantaran produk hukum ini bagian dari hal dasar mengatur tatanan sosial kemasyarakatan.

“Ini produk kita bersama, karena ketika KUHP ini diketok, maka semua yang menjadi objek di situ, masuk dalam kesepahaman,” kata dia.

Baca Juga :   Ancam Mati Wartawan-LSM, Ini Penjelasan Hasbullah

Di sisi lain, dalam diskusi itu, Dekan Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta, Slamet Pribadi mengungkap hal berbeda.
Berfokus pada bahasan penghinaan terhadap presiden, ia menyatakan dibutuhkan aturan tertulis, seperti yang tertuang dalam RUU KUHP kali ini.

“Harus dibedakan antara mengkritik dan menghina presiden,” ungkap Slamet.

Sehingga ketika mengkritik presiden, disebutnya tidak perlu diberlakukan jeratan pidana. Namun demikian, harus ada perlindungan, ketika sosok pribadi presiden sudah diserang.

“Jangan sampai presiden jatuh martabatnya karena dihina,” tandasnya. (ono/ono)