Festival Jatilan Bromo Kembali Menyapa Wisatawan

1912

Probolinggo (wartabromo.com) – Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Probolinggo bersama pelaku wisata dan seni kembali menggelar Festival Jatilan Bromo. Festival bulanan ini akan digelar pada Sabtu, 28 September, mulai pukul 16.00 di Ampiteater Jiwa Jawa Hotel, Desa Wonotoro, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo.

“Setelah sukses pada pagelaran yang pertama di bulan Agustus lalu, kami kembali menggelarnya. Festival bulanan ini, diharapkan mampu menambah destinasi wisata di kawasan Gunung Bromo. Selain keindahan alam, wisatawan disuguhi seni budaya lokal dan budaya nusantara,” ungkap Kadiskominfo Kabupaten Probolinggo, Yulius Christian.

Selain jatilan khas Bromo, juga direncanakan ada penampilan Jatilan Kabupaten Lumajang, Banyuwangi, Yogja, dan Temanggung. Selain itu ada juga sendratari Jathilan Majapahit dan tari Kiprah Glipang khas Kabupaten Probolinggo.

Baca Juga :   Festival Jatilan Bromo Pukau Turis Asing

“Untuk giat pendukung, ada pasar rakyat dan pameran UKM,” kata mantan Camat Sukapura tersebut.

Bagas Indriatmono, panitia pelaksana mengungkapkan, sendratari Jatilan Majapahit bersumber dari Kitab Negara Kretagama gubahan Empu Prapanca. Sigit Pramono sebagai penulis skenario dan Dr. Kuswarsantyo, selaku penata tari, membaginya dalam 5 babak penampilan.

Babak pertama, dibuka dengan adegan Raja Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada menyaksikan parade militer tentara Majapahit. Parade itu menampilkan prajurit berkuda, prajurit gajah, dan prajurit jalan kaki (infanteri).
Hal itu menggambarkan bahwa Kerajaan Majapahit memiliki kekuatan militer luar biasa sebagai negara besar pada masa.

Selanjutnya Raja Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada blusukan ke pelosok negeri. Yakni ke Desa Warnana, Serba Serbi Desa, Njajah Desa Milangkori. Raja menyaksikan anak-anak kecil berlatih menari Jathilan di padepokan atau rakaryan. Adegan ini menggambarkan kehidupan masyarakat pedesaan yang makmur, riang gembira, sejahtera.

Baca Juga :   Udeng Okra, Sumber Ekonomi dan Ikon Wisata Kabupaten Probolinggo

“Pada babak ketiga, ada adegan Raja, menteri, pujangga berkuda berburu binatang, semisal Celeng, Kaswari, Rusa, Kijang dan Kelinci. Di mana mereka memburu binatang menggunakan senjata tajam dan mengejarnya dengan berkuda. Komposisi tari ini menggambarkan keriangan atau pesta menikmati hasil binatang buruan,” tutur Bagas.

Selanjutnya Raja Hayam Wuruk melakukan upacara Srada (Nyadran) menghormati arwah nenek moyang atas perintah ibunda Sri Rajapatni. Dipimpin oleh Dukun Tengger, upacara memanjatkan doa ini berlangsung khidmat. Suasana magis, mencekam, mengharukan tergambar dalam pertarungan kekuatan spiritual baik dan kekuatan jahat.

“Adegan terakhir merupakan unjuk kebesaran Majapahit dan kekuatan militer Majapahit. Ada juga adegan Patih Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa. Kemudian diakhiri pasukan kuda berbaris mengiringi raja meninggalkan pasebon atau lapangan,” tandas pengelola Jiwa Jawa Hotel itu. (saw/**)