Pemerintah dan Pengaruh Kebijakan Upah Minimum Regional (UMR)

13132
“Menjadi adil itu bukanlah hal yang mudah. Mudah untuk dikatakan namun sulit untuk dilakukan. Ditambahkan dengan kompleksitas perekonomian zaman sekarang, membuat Pemerintah harus berbenah dan berinovasi terus-menerus demi tercapainya kemakmuran rakyat.”

Oleh : John Wesly Samuel*

PEMBERIAN upah tenaga kerja ditentukan oleh titik keseimbangan (ekuilibrium) antara jumlah penawaran pasar tenaga kerja dengan jumlah permintaan kebutuhan tenaga kerja di pasar faktor produksi (produsen). Hal ini sesuai dengan ilmu ekonomi mikro.

Namun kenyataannya terkadang terjadi kegagalan pasar (Market Failure), di mana titik keseimbangan tersebut menghargai upah tenaga kerja di bawah sosial ekonominya, sehingga hal ini membuat tenaga kerja menjadi tidak sejahtera.

Prinsip ekonomi menjelaskan terkadang dibutuhkan kehadiran pemerintah untuk memperbaiki mekanisme pasar. Campur tangan pemerintah diharapkan dapat memperbaiki kegagalan pasar sehingga menjadi lebih efisien dan merata.

Baca Juga :   Nasionalisme Abang-abang Lambe

Dalam hal ini pemerintah membuat suatu peraturan yang mengikat terkait dengan besaran upah minimum tenaga kerja. Kebijakan upah minimum dilakukan pemerintah dengan menetapkan batas bawah (price floor) upah di atas titik keseimbangan yang seharusnya, sehingga lebih mensejahterakan para pekerja.

Upah minimum regional atau disingkat dengan UMR adalah suatu standar minimum yang digunakan oleh pelaku industri (perusahaan) untuk membayar tenaga kerjanya. Berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP-226/MEN/2000 tahun 2000 UMR dibagi menjadi dua yaitu Upah minimum provinsi (UMP) dan upah minimum kabupaten/kota (UMK).

UMR ditetapkan oleh pemerintah tiap tahun dengan memperhatikan komponen kebutuhan biaya hidup di tiap wilayah yang berbeda-beda. Sehingga menjadi wajar jika UMR tiap wilayah berbeda juga.

Baca Juga :   Pikenik Alas Kobong

UMR telah menjadi topik yang sering kali menjadi bahan perdebatan politis. Ada yang setuju dan ada yang kurang setuju dengan kebijakan ini.

Pihak yang setuju dengan kebijakan ini berpendapat, kebijakan pemerintah tekait penetapan besaran upah minimum merupakan satu cara untuk meningkatkan pendapatan para pekerja demi terpenuhinya standar kebutuhan hidup layak (KHL).

Seiring dengan bertambahnya pendapatan pekerja, maka tingkat konsumsi pekerja juga meningkat. Tingkat konsumsi yang meningkat mendorong munculnya jenis-jenis usaha baru yang berpotensi menambah lapangan pekerjaan baru.

Penetapan upah minimum juga diharapkan dapat meningkatkan produktivitas kerja dan produktivitas perusahaan, sehingga akhirnya meningkatkan produktivitas secara nasional.

Pihak yang kurang setuju dengan kebijakan ini berpendapat, kebijakan tersebut bukanlah cara yang terbaik untuk melawan kemiskinan. Dengan adanya penetapan UMR di atas titik keseimbangan pasar, mendorong bermunculannya kaum muda yang ingin mencari pekerjaan, namun tidak sebanding dengan kemampuan perusahaan untuk memperkerjakan mereka.

Baca Juga :   STKIP PGRI Pasuruan Latih Ratusan Pelajar se-Jatim, Pecahkan Persoalan Ekonomi

Hal ini menyebabkan tenaga kerja tidak terserap secara maksimal, dengan kata lain menimbulkan bertambahnya pengangguran.

Isu yang terjadi saat ini adalah maraknya kegiatan demonstrasi oleh buruh atau tenaga kerja yang menginginkan kenaikan UMR, karena pekerja menganggap UMR yang ditetapkan pemerintah masih tergolong rendah.

Kenaikan UMR sangat terasa dampaknya bagi perusahaan, karena kenaikan upah menyebabkan biaya faktor produksi juga naik, sehingga perusahaan harus menaikkan harga barang untuk meraih keuntunggan. Namun masalahnya adalah kenaikan biaya faktor produksi belum tentu diimbangi dengan meningkatnya profit perusahaan juga.