Pilwali Setengah Hati dan Parpol yang Gagal Tahan Uji

1646
Hajatan akbar segera dihelat warga Kota Pasuruan: memilih wali kota dan wakilnya. Sayangnya, hajatan itu seperti setengah hati.

Oleh M. Asad

BOLEH jadi, kesan pilwali ‘setengah hati’ itu tidak hanya saya yang merasakannya. Apa tolok ukurnya, tulisan ini akan coba membahasnya satu-satu.

Tapi, rasa-rasanya memang benar begitu. Dibanding daerah-daerah lain, pemilihan kepala daerah (pilkada) hampir pasti selalu diwarnai dengan hiruk pikuk. Baik antar antar partai, internal partai, atau bahkan antar calon.

Soal manuver? Sudah pasti. Mereka yang terlibat dalam kontestasi, meyakini ajang pilkada adalah moment untuk pansos -panjat sosial- istilah sakarang dengan motif beragam.

Seperti memancing ikan, ada yang sekadar melempar umpan untuk mengundang ikan-ikan di air dalam. Ada yang menahan ‘barang’ guna melihat reaksi pasar, seperti logika para pedagang.

Baca Juga :   Naik Level 3, Satgas Tak Beri Izin Stadion R. Soedrasono Jadi Tuan Rumah Liga 3

Tetapi, apapun itu, rasa-rasanya pilwali saat ini jauh dari biasanya. Jauh dari kesan akan adanya hajatan akbar pesta demokrasi. Padahal, pilwali bukan semata momentum sukses pergangan wali dan wakil wali kotanya.

Lebih jauh, agenda lima tahunan ini sekaligus menjadi puncak evaluasi publik terhadap kinerja kepala daerahnya lima tahun belakangan ini.

Publik yang merasa tak puas, kecewa, atau bahkan tercederai, dengan kebijakan-kebijakan pemimpin sebelumnya, berhak memilih calon atau kandidat lainnya.

Akan tetapi, hingga beberapa bulan jelang pencoblosan, semua masih terdengar adem ayam. Tidak ada kasak kusuk di tingkat bawah tentang sosok yang menjadi gacoannya.

Dan, tentu saja itu tak lazim untuk sebuah daerah yang bakal menggelar suksesi kepemimpinan.

Baca Juga :   Home Industri Sabu Digerebek di Taman Dayu

Tapi, itulah kenyataannya. Pilwali yang terasa kurang greget bukan hanya terjadi di kalangan bawah. Kondisi yang sama terjadi di tingkat para elit (baca; partai politik).

Jika pun ada orang-orang partai yang memunculkan nama, saya menyebutnya sebagai gimmick belaka. Tak lebih. Nyatanya, sampai hari ini, tidak ada satupun nama atau figur bakal calon yang mengemuka.

Pada satu sisi, parpol mungkin masih gamang atau meraba-raba tentang siapa figur yang diusung untuk kontestasi pilwali mendatang.

Akan tetapi, pada sisi yang lain, situasi seperti ini juga bukti akan gagalnya parpol melakukan regenerasi. Parpol GAGAL melakukan kaderisasi untuk menciptakan calon-calon pemimpin masa depan.

Bagaimana dengan nama-nama yang gambarnya belakangan bertebaran di atas spanduk atau baliho-baliho di perempatan jalan? Seperti Ismail Nachu atau Anshori.

Baca Juga :   Diterjang Badai Pasir, Listrik di Lereng Bromo Padam

Mereka bukan produk partai. Ismail Nachu adalah pegiat ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). Sementara Anshori, seperti yang banyak diketahui merupakan pensiunan polisi.

Pun demikian dengan Raharto Teno Prasetyo, Plt. Wakil Walikota Pasuruan saat ini. Dia bukan politisi yang lahir dari rahim parpol, melainkan pengusaha. Jika pun akhirnya saat ini didapuk sebagai ketua DPC PDIP, semata karena ‘kebaikan’ DPP.

Begitulah keadaannya. Praktis, diantara parpol-parpol pemilik kursi di parlemen saat ini, nyaris tak satu pun yang punya kader dengan reputasi menonjol.

Alih-alih reputasi menonjol. Sekadar berstatemen, mengelaborasi persoalan di depan media saja, bisa dihitung dengan jari.

Kalau sudah begitu, untuk apa bantuan keuangan parpol diberikan tiap tahun? Wallahu ‘alam Bisshawab…. (*)