Pretty Boys (2019): Lucu Tapi Tidak Baru

1635
Review Film

Oleh Amal Taufik

SATU-SATUNYA alasan saya menonton Pretty Boys (2019) tak lain ingin melihat duet Vincent dan Desta. Di layar kaca duet mereka memang tak diragukan. Tapi di layar lebar? Mereka perlu menghidupkan tokoh melalui ekspresi dan emosi yang tak hanya sekadar memancing gelak tawa, melainkan juga mengutarakan pesan.

Berkisah tentang 2 anak desa Anugerah (Vincent) dan Rahmat (Desta) yang merantau ke Jakarta untuk menggapai mimpi jadi bintang layar kaca. Awal-awal mereka bekerja di sebuah kafe dan di sana mereka bertemu Asti (Danilla Riyadi).
Di awal film sosok Asti langsung tampak diletakkan sebagai love interest, sehingga mudah ditebak, bahwa salah satu konflik yang muncul nanti adalah “rebutan” Asti. Dan hal itu memang benar terjadi.

Tanda-tanda nasib baik 2 tokoh utama adalah ketika mereka mulai menjadi penonton bayaran di sebuah acara televisi. Anugerah dan Rahmat pun berkenalan dengan Roni (Onadio Leonardo) yang kelak akan menjadi manajer mereka.

Baca Juga :   Film Story of Kale: Sudah Sehatkah Hubungan Asmaramu?

Ketika Roni mulai dimunculkan, bersamaan itu pula satire kepada dunia pertelevisian ikut muncul—yang barangkali adalah salah satu poin utama film ini. Anugerah dan Rahmat dituntut untuk menjadi banci dan membawakan sebuah acara talk show.

Naskah film yang ditulis Imam Darto memberondongkan sejumlah kalimat satire yang keluar dari mulut tokoh-tokoh sepanjang film berlangsung. Tak hanya dialog, kondisi di balik gemerlapnya dunia hiburan layar kaca pun dipaparkan penuh sindiran.

Komedi banci-bancian, penonton bayaran, perilaku rela menjadi apa saja, hingga nafsu menyembah rating semua disindir. Kemudian sang sutradara Teuku Adifitrian atau yang kita kenal: Tompi menambah kenyamanan mata penonton dengan tampilan artistik dalam film.

Chemistry Anugerah dan Rahmat tak perlu diragukan. Humor-humor yang mereka lontarkan ala ”Tonight Show” hingga humor ala-ala “Opera Van Java” sangat menghibur sejak awal hingga film berakhir. Selain 2 tokoh utama, beberapa tokoh cameo dalam film pun tidak tampil sia-sia atau sekadar lewat. Ada saja adegan atau ”voice” yang berfungsi untuk menyambungkan narasi film.

Baca Juga :   Find Me in Your Memory, Drakor Seru Tak Banyak yang Tahu

Di sini Vincent rupanya kebagian peran yang agak “berat”. Tokoh Anugerah di kampung rupanya berkonflik dengan sang ayah (Roy Marten) yang merupakan purnawirawan tentara. Sang ayah sangat keras menentang passion anaknya terjun ke dunia entertainment.

Ketika sampai kepada scene Roy Marten, saya merasa ada yang kurang pas. Tiba-tiba saja muncul kalimat dialog sindiran soal penculikan aktivis di tahun ’98. Memang sah-sah saja dan itu semau-mau sang sutradara, tapi dialog itu terasa aneh ketika muncul tiba-tiba, sementara sepanjang film diisi dengan drama-komedi.

Maksud saya begini, bayangkan Anda dan teman-teman Anda membahas hal-hal lucu di sebuah warung kopi. Saat asyik tertawa tiba-tiba salah satu kawan Anda berkata, “Wah hari ini ternyata hari kelahiran Wiji Thukul. Penyair yang hilang itu.” Memang tidak keliru, tapi terasa kurang pas dengan situasi.

Baca Juga :   Eternal Sunshine of The Spotless Mind (2004): Lali Rupane, Eleng Rasane

Emosi yang ditampilkan Vincent saat mengalami konflik batin tidak mengecewakan. Tak hanya dengan ayahnya, melainkan juga dengan pekerjaan yang ia lakukan—yang lama kelamaan berlawanan dengan hati nuraninya—dan konflik batin karena jatuh cinta kepada Asti, namun tak bisa mengungkapkan.

Sementara itu Desta kebagian sosok pragmatis. Apa saja rela ia lakukan demi mendulang popularitas. Onadio, yang di sini merupakan debut pertamanya menjadi aktor, saya pikir juga tidak mengecewakan dalam memerankan sosok Roni yang ngondek.

Yang kurang dari film ini barangkali adalah eksplorasi hal baru. Mengenai penonton bayaran, menyembah rating, rela menjadi apa saja demi popularitas (satire melalui peran banci), saya kira sudah banyak yang tahu. Ironi dunia hiburan televisi ini juga sudah sering dibahas dalam berbagai obrolan dan diskusi.