Jangan sampai presiden mati-matian mengendalikan alih fungsi lahan sawah produktif tapi pembantu presiden malah mempercepat alih fungsi lahan sawah menjadi non sawah. Kalau sampai diteruskan, maka sama saja mengingkari presiden.
Sumail Abdullah
Anggota DPR RI Komisi V – Fraksi Partai Gerindra
KEBIJAKAN untuk mempercepat pembangunan infrastruktur patut diapresiasi. Hal ini dikarenakan Indonesia masih tertinggal jauh dari negara-negara di kawasan terutama ASEAN dalam hal pembangunan infrastruktur.
Menurut data Global Competitiveness Index (GCI) pada 2019 yang dirilis World Economic Forum, peringkat daya saing infrastruktur Indonesia masih tertinggal jauh baik dengan negara-negara emerging market maupun kawasan ASEAN. Indonesia berada dalam rangking 5 daya saing infrastruktur di ASEAN dan 72 dari 141 negara yang masuk dalam survei GCI.
Artinya, upaya untuk mempercepat pembangunan infrastruktur memang diperlukan agar Indonesia mampu mempercepat akselerasi pembangunan ekonomi. Ketiadaaan pembangunan infrastruktur yang memadai akan membuat ekonomi Indonesia berbiaya mahal, salah satunya karena meningkatnya biaya logistik.
Langkah yang tepat sebenarnya sudah dilakukan dengan mempercepat realisasi pembangunan transjawa yang sudah direncanakan sejak zaman orde baru. Dengan pembangunan jalur Tol Transjawa selain akan menekan salah satunya biaya logistik juga akan menghubungkan satu sama lain (Connecting the dots) daerah di seluruh pulau Jawa
Akan tetapi pembangunan yang memiliki visi untuk kesejahteraan seyogyanya harus beriringan dengan kesimbangan pembangunan lainnya, seperti lingkungan dan pertanian. Jangan sampai pembangunan infrastruktur malah menjadi pilihan saling meniadakan (zero sum game) pembangunan lain atau malah menjadi bencana bagi rakyat.
Ironi Pembangunan Tol Probowangi
Kondisi yang zero sum ini yang terjadi pada pembangunan Tol Probowangi yang direncanakan secara sembrono, di mana rencana pembangunan tol yang melewati kabupaten Situbondo dan Banyuwangi akan melewati sawah produktif. Tentu pilihan kebijakan dan lokasi pembangunan patut dipertanyakan karena sangat kontraproduktif bahkan cenderung menabrak aturan mengingat dua hal:
Pertama, pemerintah sedang getol-getolnya membuka sawah pertanian seperti food estate di Kalimantan, sedangkan di sisi lain sawah produktif yang menjadi mata pencarian masyarakat Situbondo dan Banyuwangi harus direlakan demi pembangunan infrastruktur. Artinya, di satu sisi infrastruktur akan terbangun tapi cita-cita kedaulatan pangan jadi isapan jempol belaka. Rencana pembangunan Tol Probowangi yang sekarang mencerminkan rencana yang ala kadarnya dan serampangan dengan mematikan sawah produktif yang melewati dua kabupaten serta akan menyengsarakan petani.
Selain itu pembangunan tol yang mengorbankan sawah produktif juga bertentangan dengan semangat presiden dalam visi kedaulatan pangan, di mana presiden telah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2019 tentang pengendalian alih fungsi lahan sawah. Dengan dikeluarkannya Perpres No 59/2019, maka tujuan dan semangat untuk mengendalikan alih fungsi lahan sawah menjadi non sawah seharusnya menjadi pegangan seluruh pemangku kepentingan.
Jangan sampai presiden mati-matian mengendalikan alih fungsi lahan sawah produktif tapi pembantu presiden malah mempercepat alih fungsi lahan sawah menjadi non sawah. Kalau sampai diteruskan, maka sama saja mengingkari presiden.
Kedua, pemerintah dalam hal ini KementerianPUPR “main gampangnya” saja dalam pembangunan Tol Probowongi, mengingat di sepanjang jalur Situbondo bagian selatan dan Banyuwangi banyak memiliki lahan kering yang tidak produktif, selain itu juga ada lahan Perhutani yang merupakan bagian dari tanah negara. Dengan memanfaatkan lahan yang tidak produktif tersebut kita terhindar pada situasi yang dilematis, di mana pembangunan infrastruktur dapat terus berjalan dan petani di jalur yang rencananya akan dilewati tol tetap bisa bertani