Indonesia Dijajah 350 Tahun, Hanya Mitos?

9464

 

Benarkah Belanda menjajah Indonesia selama 350 tahun? Ataukah hanya mitos?

Oleh: Asad Asnawi

BERAPA tahun sebenarnya Belanda menjajah Indonesia? Sudah tentu 350 tahun atau tiga setengah abad menjadi jawaban yang paling umum.

Pertanyaannya, benarkah Belanda menjajah selama itu? Atau, jangan-jangan itu hanya mitos belaka lantaran kita tak pernah mempertanyakan atau bahkan menguji kebenarannya?

Sejauh ini, pernyataan bahwa Belanda menjajah Indonesia selama 350 tahun itu sebagian didasarka pada keberhasilan VOC menduduki Batavia pada 1619 silam. Itu pun, jika dihitung mundur tak sampai 350 tahun.

Tetapi, yang perlu dicatat adalah bahwa VOC bukanlah Belanda dari sisi pemerintah kerajaannya. Melainkan, perkumpulan dagang.

Kedua, Batavia yang diduduki VOC kala itu tentu belum sebesar wilayah Jakarta sekarang ini. Bahkan, hanya sekitaran Kota Lama yang ada di Jakarta Utara saat ini.

Baca Juga :   Sepenggal Kisah Difabel lkuti Rekrutmen CPNS

Ketiga, saat itu, Indonesia belum lahir. Karena itu, jika penyebutan penjajahan 350 tahun oleh Belanda dimaksudkan untuk Indonesia sebagai negara kepulauan dengan luas seperti sekarang ini, adalah salah besar. Karena Belanda tidak pernah benar-benar ‘menguasai’ seluruh wilayah nusantara selama itu.

Seorang sejarawan yang juga ahli tata negara, GJ Resink salah satu yang menggugat klaim 350 tahun itu. Penyangkalan itu pun ia rangkum dalam karyanya berjudul ‘Bukan 350 Tahun Dijajah’ tahun 2012 silam.

Sebaliknya, berdasar bukti-bukti yang dimilikinya, Resink membangun narasi baru bahwa Belanda efektif menjajah Indonesia selama 50 tahun. Tak lebih.

Klaim oleh Resink merujuk pada keberadaan kerajaan-kerajaan nusantara hingga tahun 1910 an. Tak hanya eksis. Kerajaan-kerajaan itu juga bebas merdeka untuk menentukan sikap.

Relasi, kerjasama, atau perjanjian antara pemerintah Belanda-Kerajaan, menurut Resink lebih dekat sebagai hubungan dua negara. Lainnya hubungan bilateral antarnegara seperti sekarang ini. Hubungan ‘bilateral’ ini pula yang diimplementasikan dengan menunjuk residen, selaku diplomat atau konsulat.

Baca Juga :   Ekonomi Mikro pada Jasa Transportasi Ojek Online

Pengiriman utusan itu pun sudah menjadi bagian dari tradisi negara-kerajaan di nusantara. Bahkan sejak kekaisaran Cina pada tahun 1415-1425. Kala itu, Kerajaan Pu’ni, mengutip penuturan Resink, mengirim utusan ke Cina saban tiga tahun sekali. Kebiasaan itu pun dilakukan Kerajaan Lombok di era 1880 an ke Hindia Belanda.

Resink juga memaparkan sejumlah bukti yang tertuang dalam lembar negara Belanda terkait penggunaan istilah-istilah hukum yang digunakan kedua belah pihak kala itu. Misalnya, istilah perjanjian yang menunjukan maksud adanya kedudukan yang sama. Bukan antara penjajah-terjajah. Atau penguasa-dikuasai.

Selain itu, banyak juga sebutan untuk warga asing yang dalam konteks hari ini WNA (Warga Negara Asing). Penyebutan warga asing itu membawa konsekuensi kealpaan lembaga pengadilan dimaksud untuk menyidangkan kasus warga bersangkutan.

Baca Juga :   Yang Tersisa dari Banjir Bandang Kepulungan

Sebagau contoh, dalam sebuah peristiwa, Mahkamah Agung Hindia Belanda sempat menolak menangani kasus karena yang bersangkutan merupakan warga negara Kerajaan Kutai. Yang itu berarti bukan termasuk wewenang pengadilan Hindia Belanda.

Atau, contoh lainnya bisa dilihat pada putusan Pengadilan Tinggi Makassar kala tahun 1880 silam. Ketika itu, pengadilan milik pemerintah Hindia Belanda memutuskan Goa sebagai kerajaan merdeka yang tidak berdiri di bawah, melainkan di samping pemerintah Hindia-Belanda, juga tidak termasuk dalam wilayah Hindia-Belanda.

Sebelum 1910, didapati banyak kerajaan yang merdeka dan memiliki hubungan setara dengan Hindia Belanda. Dengan kata lain, sebelum periode itu, Belanda belum benar-benar menguasai kepulauan Indonesia seperti sekarang ini.