Mewujudkan Jaminan Kesehatan yang Rahmatan lil Alamin: Sebuah Tantangan

915

Oleh: Asad Asnawi

SUATU sore menjelang akhir 2019. Sebuah rumah di Jalan Untung Suropati, Kelurahan Kebonagung, Kota Pasuruan menjadi lokasi terakhir yang dituju Mukhlason sebelum pulang.

Setelah menunggu, Rahmad (nama samaran) pemilik rumah akhirnya membukakan pagar. Mukhlason yang merupakan kader BPJS Kesehatan Pasuruan lantas dipersilakan masuk.

Obrolan seputar program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pun mengalir. Hingga kemudian, Mukhlason berkesempatan menyampaikan surat pemberitahuan iuran BPJS yang tertunggak. Kebetulan, Rahmad dan keluarganya yang tercatat sebagai peserta JKN kelas 1 ini cukup lama menunggak iuran. Sekitar 24 bulan.

Sayang, respons yang didapat tak seperti harapan. Alih-alih menyikapi surat pemberitahuan itu dengan baik, Rahmad malah mencak-mencak sembari melempar kertas yang baru dibacanya.
“Saya ndak ikut-ikut ini. Bawa kembali suratnya, sini minta nomor kantormu!” kata Rahmad, dengan nada tinggi seperti diceritakan Mukhlason, Kamis (27/08/2020). Mukhlason pun memungut kembali kertas yang dibuang itu. Setelah itu, beringsut meninggalkan lokasi: pulang, dan kembali keliling esok hari.

Ya, berkeliling, door to door mengedukasi masyarakat akan pentingnya menjadi peserta program JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) memang menjadi tugas utama kader BPJS Kesehatan.

Tak jarang, tugas itu diwarnai banyak cerita. Ditolak, bahkan dihardik, seperti yang dialami Mukhlason adalah hal biasa. “Saya bisa memaklumi karena sebagian masyarakat sering salah paham dengan tugas kader,” ujar Mukhlason yang menjadi kader sejak 2018 silam ini.

Sebagian masyarakat, lanjut pria 31 tahun ini, menganggap Kader BPJS laiknya debt collector alias juru tagih di perusahaan-perusahaan pembiayaan. Padahal, tidak sama sekali. Ia bahkan kerap menolak ketika ada peserta yang titip membayar iuran melalui dirinya. Karena bukan itu tugasnya.

Di lapangan, kata Mukhlason, banyak sekali disinformasi perihal program JKN ini. Terutama, menyangkut pelayanan. Atau bahkan keluhan. Sekalipun itu kasuistik, tak sedikit yang kemudian men-genarisasi.

“Misalnya ada peserta yang mendapat pelayanan kurang mengenakkan, mereka harus bagaimana, kalau mengadu, kemana? Hal-hal seperti ini yang belum banyak diketahui. Yang banyak terjadi, pengalaman kurang enak tadi diceritakan ke orang lain, akhirnya menjadi anggapan umum. Padahal, setiap ada keluhan atau informasi, pasti ditindaklanjuti,” terang Mukhlason.

Hal seperti itulah yang terkadang membuat peserta lain enggan membayar iuran. Padahal, cerita-cerita baik akan kepesertaan JKN juga tak sedikit.

Mukhlason menjelaskan, kesehatan adalah harta paling penting, dan mahal. Kendati ungkapan itu sudah menjadi adagium umum, sebagian masyarakat justru seolah tidak menyadari. Mereka justru baru mendaftar menjadi peserta atau melunasi iuran JKN setelah jatuh sakit. Padahal, itu justru memberatkan.

Pernah suatu ketika ia berkunjung ke keluarga peserta kelas II yang menunggak iuran selama 24 bulan. Lokasinya di Perumahan Tembokrejo, Kota Pasuruan. Jika dihitung, total iuran yang tertunggak kala itu mencapai Rp 6 juta lebih. Tapi, dengan alasan belum butuh lantaran tak pernah sakit, ia pun enggan untuk membayar iuran yang tertunggak itu.

Sampai kemudian, hal tak terduga terjadi: salah satu dari anggota keluarga tersebut jatuh sakit dan memerlukan biaya besar untuk operasi. Sekitar Rp 60 juta. Padahal, sebagai peserta JKN, biaya sebesar itu tidak perlu andai saja yang bersangkutan tertib membayar iuran.

“Akhirnya, ia memilih melunasi tunggakannya karena lebih murah. Dari yang seharusnya Rp 60 juta, menjadi Rp 6 juta plus denda,” kata Mukhlason.

Website with WhatsApp Message
Follow Official WhatsApp Channel WARTABROMO untuk mendapatkan update terkini berita di sekitar anda. Klik disini.