Cerita Kontributor WartaBromo saat Dinyatakan Positif dan Merasakan Pedasnya Stigma Covid-19

1483
Bekerja sebagai pewarta adalah pilihan hati. Bertemu dengan banyak orang untuk menggali informasi dan mengolahnya sebagai berita yang terverifikasi. Banyak risiko dihadapi, termasuk terpapar Covid-19.

KETIKA kasus Covid-19 ditemukan di Indonesia, saya termasuk orang yang bersiaga. Dari beberapa informasi yang beredar, saya membekali diri dengan masker. Tak lupa membawa sanitizer di tas kecil bersama handycam, senjata andalan.

Maklum, selain menjadi kontributor WartaBromo, saya juga CP (camera person) di salah satu stasiun televisi.

Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa berkunjung ke Pendapa Bupati Probolinggo pada Senin, 21 September. Tamu dan wartawan yang hadir diwajibkan ikut rapid tes. Saya ikut tes sebagai bagian dari protokol kesehatan yang diterapkan. Ini bukan rapid tes pertama yang saya ikuti, karena beberapa bulan sebelumnya juga pernah ikut rapid tes yang difasilitasi Diskominfo dan Satgas Covid-19 Kabupaten Probolinggo.

Ada 5 orang yang reaktif, termasuk 1 rekan wartawan. Rekan yang berdomisili di Kota Probolinggo itu, tak diizinkan liputan. Kemudian mengikuti tes usap (swab) PCR yang dilaksanakan oleh Satgas Covid-19 setempat. Hasilnya dinyatakan positif Covid-19.
Deg, hatiku tak tenang. Karena rekan ini, biasa kumpul di basecamp museum.
Rekan-rekan wartawan yang lain pun, dengan semangat yang sama menyemangatinya. Selain juga ikut tes swab PCR yang dilaksanakan oleh Satgas Covid-19 Kota Probolinggo. Hasilnya, tak ada yang dinyatakan positif. Cukup lega dan liputan menjadi tenang.

Di bulan Oktober, ternyata ada juga rekan wartawan Probolinggo yang terkonfirmasi positif Covid-19. Sama kasusnya dengan rekan yang pertama, yakni tak jelas dari mana penularan. Proteksi diri terus ditingkatkan.

Desember menjadi bulan tersuram bagi saya dalam mengarungi tahun 2020. Kehat-hatian dan disiplin protokol kesehatan, runtuh saat itu juga. Ketika hasil swab PCR dari Laboratorium Kesehatan Daerah (Labkesda) Kabupaten Probolinggo keluar. Isi dua carik kertas milik saya dan istri isinya sama, yakni positif Covid 19.

Titik nol, hatiku hancur lebur, perasaan tak menentu. Imunitas kami yang masih muda ternyata tak mampu membentengi diri dari invasi virus corona. Apalagi anak semata wayang saya masih balita.

Beruntung dukungan dari keluarga, rekan sesama jurnalis, dan pihak lain sangat besar. Termasuk dukungan dari redaksi WartaBromo. Menguatkan kami untuk bangkit dan tak menyerah begitu saja.

Baca Juga :   Di Probolinggo, Kepulangan Pasien Covid-19 Sembuh Disambut Raungan Motor Berknalpot Brong dan Petasan

Bagimana saya tertular? Saya tidak tahu, Wallahua’lam alias hanya Allah yang lebih mengetahuinya.

Awal gejala sebetulnya tidak terlalu terasa. Tersamar dan cenderung sama dengan kelelahan karena bekerja. Sebagai wartawan, juga kepala keluarga.
Saya akui sepanjang November 2020, kegiatan liputan cukup menyita waktu. Termasuk dengan kegiatan rutin sehari-hari, ternak teri alias mengantar anak dan isteri. Hehehe…

Pada pekan kedua Desember, istri dan anak saya sempat tidak enak badan. Namun, segera sembuh setelah berobat ke dokter praktik swasta. Usai menjaga anak yang sempat rewel semalaman, saya memilih istirahat di kediaman ibu saya di Kota Probolinggo.

Saat itulah, badan terasa begitu lemas. Nyeri sendi menjalar di seluruh tubuh. Saya tidak curiga. Tidur sejenak dan minum vitamin, saya kira sudah cukup untuk menghilangkan penat itu. Namun, ternyata lemas dan nyeri tidak hilang begitu saja.
Minggu, 6 Desember, saya pertama kali mengalami gejala kecapekan yang luar biasa. Esoknya, keadaan sedikit membaik. Hanya saja, napas mulai terasa agak berat di dada.

Saat itu, saya belum menyadari jika itu gejala Covid 19. Tapi upaya disiplin protokol kesehatan, seperti memakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak, tetap saya lakukan.
Minuman herbal semacam jahe dan jeruk hangat, makin rutin saya konsumsi.

Efeknya, usai meminum ramuan tersebut, badan jadi berkeringat dan sedikit lebih bugar. Tapi dalam kurun satu jam, kembali lemas dan capek seperti sedia kala.

Selasa, 8 Desember, saya merasakan pusing luar biasa. Napas juga lumayan berat. Opsi memberi minyak kayu putih di masker pun saya lakukan untuk meringankan napas. Cara itu, efektif untuk membuat nafas lega.

Saya pun pamit tidak menulis kepada Mas Sun, selaku Kabiro WartaBromo Probolinggo. Sebelumnya, saya tetap nulis meski istirahat di rumah. Dibecandain sama Mas Sun “Ojo keakean ngombe obat kuat,” katanya.

Ketika Wakil Wali Kota Probolinggo, HM Soufis Subri meninggal, pada Rabu, 9 Desember, saya istirahat total di rumah. Seharian istirahat membuat badan saya cukup segar. Sehingga esok harinya, saya berinisiatif untuk kerja.

Baca Juga :   Kenakan Topeng Covid-19, Polisi di Kota Pasuruan Edukasi Pengguna Jalan

Di basecamp museum, saya bertemu dengan rekan seprofesi, namun tetap menjaga jarak dan tak bersentuhan. Saya tiduran karena saya merasakan kantuk. “Duh kamu kanak-kanak Covid-19, mirip Tantri (Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari) yang mengantuk di pagi hari,” celetuk salah satu teman.

Saya pun pulang, bukan karena diusir melainkan atas kesadaran diri.
Tiba di rumah, saya menyalakan obat nyamuk bakar untuk mengusir nyamuk. Saya merasakan keanehan ketika asap putihnya tersebar, saya tidak menciumnya sama sekali. Hidung sudah tidak bisa mengenali baunya.

Kemudian saya coba semprotkan parfum, tak ada bau. Bahkan saya gosokkan minyak kayu putih ke hidung, tidak tercium bau dari bahan yang beraroma tadi.
Meski kalut dan panik, saya menghubungi Satgas Covid-19 Kabupaten Probolinggo.

Oleh satgas, saya disarankan istirahat dan isolasi mandiri. Kemudian menjalani swab PCR di Labkesda milik Pemkab Probolinggo, pada Jumat, 11 Desember.
Pengambilan sampel lendir tenggorokan dan hidung pun saya jalani bersama istri. Di Labkesda, petugas berpesan agar menunggu hasil maksimal lima hari dari pengambilan sampel pertama. Kemudian dilanjutkan dengan swab kedua, tiga hari kemudian.

Hingga 9 hari berselang, tidak ada kabar tentang hasil swab kami. Baik yang pertama maupun kedua. Hari kesepuluh, saya memberanikan diri mencari informasi lain. Hingga didapat kabar jika saya dan istri terkonfirmasi positif Covid-19 berdasarkan swab PCR pertama.

Selama menunggu kabar itu, saya menjalani isolasi mandiri di rumah, berdua dengan istri di Desa/Kecamatan Dringu. Sementara, anak kami yang masih berusia 2,5 tahun, kami titipkan ke rumah ibu di Kota Probolinggo. Rindu pada anak dan rasa ingin keluar rumah, membuat isolasi di rumah membosankan.

Bersamaan dengan kabar positif yang saya terima, satgas Covid-19 setempat juga langsung menghubungi. Menyarankan untuk segera geser ke fasilitas karantina milik Pemkab Probolinggo. Tetapi, dengan sejumlah pertimbangan, saya meminta untuk terus bisa isolasi mandiri di rumah. Karena memang hanya berdua dengan istri. Tidak ada anggota keluarga yang lain.

Pro dan kontra membayangi isolasi mandiri yang kami lakukan. Terjadi pergolakan di antara tetangga dan kerabat. Sebagian mendukung dan ikut mengawasi. Namun, tak sedikit yang menolak kami. Meminta kami menjauh dari lingkungan.

Baca Juga :   Bersama Ulama, Plt. Wali Kota Pasuruan Tinjau Lokasi Isolasi

Sebagian lagi berkomentar begitu pedas dan membenci. Mereka khawatir isolasi di rumah tetap bisa menularkan virus tersebut. “Lebih baik jangan di sini. Daripada nanti menulari yang lain,” kata mereka.

“Kalau tetap di situ, bisa menghambat orang takziah. Jika kakek yang saat ini kondisinya sakit meninggal,” sambung warga lainnya.

Padahal, apa yang kami lakukan benar-benar menerapkan protokol kesehatan. Pintu rumah depan belakang selalu terkunci. Setiap kiriman barang maupun makanan untuk kami, hanya sampai di depan pintu. Kiriman itu, baru kami ambil setelah pengantar pergi. Tak ada kontak dengan dunia luar.
Vitamin dan madu, terus kami konsumsi. Asupan vitamin untuk menjaga daya tahan tubuh juga penting dilakukan. Terutama vitamin C dan D serta penambah imun tubuh. Sembari terus melakukan kegiatan rumah, agar tidak bosan dan tetap produktif.

Pastinya selalu berpikir positif dalam menghadapi musibah.
Pedasnya stigma tetangga dan kerabat itu terhenti, setelah membaca surat keterangan isolasi mandiri dari Satgas Covid-19 kecamatan setempat. Sampai akhirnya masa karantina mandiri berakhir, pada 25 Desember 2020.

Dari pengalaman pribadi, pesan yang bisa saya sampaikan dalam tulisan ini, Covid-19 bisa kapan saja menginfeksi tubuh kita. Menembus kekebalan tubuh yang kita miliki. Mengenali gejala kesehatan sekecil mungkin, juga cukup penting dilakukan. Jika ada rasa atau keluhan yang lain dari biasanya, segera konsultasi dengan dokter atau tenaga medis.

Mari senantiasa menerapkan protokol kesehatan di manapun. Memakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak, harus diterapkan. Sampai sejauh ini, pandemi Covid-19 masih belum berakhir dan tak tahu kapan akan berakhir.

Sebagai jurnalis, saya pun sudah berusaha menerapkan hal itu di setiap kesempatan tugas saya melakukan peliputan.

Covid 19, bukanlah aib untuk dihindari atau disembunyikan. Kendati saya dan istri sempat mendapat stigma negatif dari masyarakat sekitar, saya tidak masalah. Ketimbang harus menyembunyikan penyakit berbahaya ini.

Karena yang harus dihindari bukanlah manusianya, melainkan penyakitnya.