Lonjakan Kasus Covid-19 dan Pemerintah yang Gagal Urus

1938

Oleh: Widya Andriana

APA yang dikhawatirkan akhirnya terjadi. Laju penyebaran Covid-19 yang sebelumnya sempat mereda kembali melonjak. Bahkan, berdasar data Satgas Covid-19 pusat, per Sabtu (26/6/2021) sebanyak 21.095 orang terkonfirmasi positif.

Dengan tambahan itu, total angka positif Covid-19 secara kumulatif mencapai 2.093.962 orang. Yang perlu dicatat, lonjakan pasien hingga 21.095 orang dalam satu hari merupakan yang tertinggi sejak pandemi terjadi awal Maret 2020 silam!

Cukup beralasan bila situasi tersebut membuat saya dan juga warga yang lain semakin cemas akan masa depan penanganan pandemi ini. Terlebih, melihat sikap serta kebijakan pemerintah yang senantiasa berubah-ubah sejak awal pandemi.

Menyalahkan masyarakat, tentu bukan tindakan bijak mengingat sikap pemerintah sendiri yang cenderung tak konsisten dengan bergonta-ganti kebijakan. Bahkan, saat tulisan ‘jangan kendor’ untuk menerapkan protokol kesehatan terpampang di berbagai sudut kampung, pemerintah justru membuka lebar kran tempat hiburan dan rekreasi.

Baca Juga :   Masa Depan Terorisme di Tangan ‘Pengantin’ Perempuan

Bahwa banyak masyarakat yang salah karena tidak berdisiplin menerapkan protokol kesehatan, memang iya. Tetapi, mereka tidak bisa disalahkan.

Bagi saya, negara lah yang harus dipersalahkan dan bertanggungjawab atas semua ‘kekacauan’ akibat pandemi ini.
Kok bisa? Ya. Karena negara punya perangkatnya. Negara punya alat, punya anggaran, punya sistem, punya semua yang dibutuhkan untuk membuat dan mengamankan kebijakannya. Termasuk juga para ahli. Semua dimiliki negara ini.

Masalahnya, seberapa besar keinginan negara alias pemerintah untuk memanfaatkan segala kemampuan yang dimilikinya untuk menangani pandemi ini. Toh nyatanya, banyak masukan dan saran dari para ahli epidemiologi yang tak dipakai.

Epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari dan menganalisa tentang penyebaran, pola, dan penentu kondisi kesehatan dan penyakit pada suatu populasi. Epidemiologi mendeskripsikan terjadinya penyakit atau infeksi karena tiga faktor yang saling berkaitan.

Baca Juga :   Difabel Tunggal Ika

Tiga segitiga epidemiologi itu adalah 1) Agent. Yakni bakteri, virus atau organisme patogen lainnya. Dalam konteks pandemi saat ini, maka sebagai Agent adalah virus Covid-19. 2) Host atau penjamu Agent, yakni manusia. Dan yang ke-3) adalah Environment atau lingkungan.
Ketidakseimbangan salah satu dari ke-3 faktor di atas akan menyebabkan ketidakseimbangan yang bisa membuat infeksi meningkat atau menurun. Seperti halnya pandemi yang terjadi saat ini.

Sederhananya begini. Saat virus SARS CoV2 atau Covid-19 muncul pertama kali di Wuhan, China, kondisi Manusia, Agent, dan Lingkungan bisa dibilang masih seimbang.

Hanya saja, karena Agent mempunyai kemampuan yang lebih unggul untuk bermutasi sehingga menyerang manusia. Celakanya, karena belum siap dan belum memiliki antibodi yang cukup, manusia pun akhirnya terpapar.

Baca Juga :   Saya Jamin Penanganan Covid-19 Akan Gagal Jika Data Tak Terbuka dan Akurat

Parahnya, adanya informasi paparan virus di Wuhan itu tak membuat lingkungan bereaksi. Belum ada kesadaran kolektif untuk memakai masker, membiasakan cuci tangan, menjaga jarak.

Bahkan, negara atau pemerintah yang masuk sebagai faktor lingkungan tak henti membuat lelucon dengan membuat kebijakan-kebijakan fatal (tak perlu saya menuliskannya panjang lebar, semua sudah bisa mengakses dengan mudah bermodal kuota data dan ponsel pintar). Dampaknya, pandemi masih terjadi tanpa tahu kapan akan selesai.

Bagaimana cara menghentikan pandemi ini? Ya dengan cara memodifikasi ke 3 faktor diatas. Memodifikasi virus tentu hal yang sulit. Karena itu, opsi yang paling memungkinkan adalah memodifikasi manusia dan lingkungan.
Memperkuat kondisi tubuh dengan menjaga pemakaian masker, mencuci tangan sesering mungkin. Dan yang paling penting, menjaga jarak, tidak berada dalam kerumunan atau malah membuat kerumunan. Dan tentu saja segera vaksin!