Begini Makna Tradisi Menggantung Ketupat di Atas Pintu Saat Lebaran

3493

Pasuruan (wartabromo.com) – Ada tradisi unik saat lebaran ketupat, yakni menggantung ketupat di atas pintu. Bukan sekadar dilakukan, tradisi ini punya makna tersendiri.

Ada beberapa daerah di Jawa Timur yang masih melestarikan tradisi menggantung ketupat di atas pintu. Beberapa diantaranya Tuban, Blitar, Tulungagung, Kediri dan masih banyak lagi.

Namun, kira-kira apa maksud dari menggantung ketupat di atas pintu saat lebaran ketupat?

Dilansir dari beberapa sumber, ada banyak makna dari menggantung ketupat di atas pintu. Seperti dipercaya untuk menolak bala, sekadar sebagai simbol bahwa turut merayakan hingga dianggap sebagai penghormatan kepada keluarga yang sudah meninggal.

Bahkan, saking kentalnya masyarakat yang percaya dengan makna menggantung ketupat di atas pintu terus melestarikannya secara turun temurun. Sebab untuk meghormati budaya leluhur.

Baca Juga :   Filosofi Ketupat

“Setiap lebaran ketupat memang selalu menggantung ketupat di atas pintu, sudah tradisi jadi ya dilakukan saja,” kata Novia, warga Desa Pulotondo, Kecamatan Ngunut, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur saat dihubungi Wartabromo.

Bahkan, Novia menjelaskan, di beberapa wilayah memang ada tradisi serupa dengan makna yang berbeda. Namun, di Tulungagung sendiri disimbolkan untuk menghormati keluarga yang sudah meninggal.

“Ya kata orang-orang sini untuk menghormati untuk menghormati keluarga/leluhur yang sudah meninggal, jadi ya diikuti saja karena sudah adatnya begitu,” ungkapnya.

Sementara itu, dinukil dari jatim.nu.or.id, Muhammad Syaifullah, Dosen Institut Agama Islam (IAI) Pangeran Diponegoro Kabupaten Nganjuk memiliki anggapan berbeda mengenai tradisi menggantung ketupat di atas pintu.

Baca Juga :   5 Tradisi Lebaran yang Tetap Dilakukan Sampai Sekarang

“Secara logika, ketupat sengaja digantung untuk menunjukan kepada tetangga, bahwa rumah tersebut memiliki ketupat untuk dimakan bersama,” jelasnya.

Kendati demikian bukan berarti masyarakat tak boleh melestarikan budaya leluhur. Namun, Syaifullah mengatakan sebaiknya masyarakat tidak syirik dan tetap mengesakan Tuhan karena tradisi tersebut merupakan adaptasi dari Islam-Jawa tempo dulu. (trj/may)