Hari Lingkungan Hidup dan Komitmen Pemerintah yang Setengah Hati

862

 

Oleh: Asad Asnawi

TEPAT hari ini, dengan difasilitasi PBB, negara-negara di dunia bertemu untuk menggagas sebuah konsep menghadapi persoalan lingkungan di segala penjuru bumi. Sejak saat itu , setiap tanggal 5 Juni diperingati sebagau Hari Lingkungan Hidup (HLH) sedunia.

Kini, setelah 50 tahun sejak pertemuan yang digelar di Stockholm, Swedia berlangsung, kondisi bumi belum banyak berubah. Polusi dan emisi masih menjadi masalah besar hingga kini.

Di Indonesia, masalah yang dihadapi pun tetap sama. Sejak pertemuan di tahunn1972 itu, permasalahan lingkungan yang dihadapi negara berpenduduk sekitar 272 juta jiwa juga tak banyak berubah.

Persoalan sampah, peningkatan air laut, polusi, kian menyempitnya lahan hutan adalah persoalan yang terus terjadi hingga kini. Dampak dari persoalan itu main kentara. Banjir dimana-mana, longsor, cuaca kian tak menentu.

Baca Juga :   Alih Fungsi Lahan Perparah Banjir di Pasuruan

Kian memburuknya kondisi lingkungan berikut dampaknya, tak ada yang membantahnya. Termasuk pemerintah. Masalahnya, kesadaran akan kualitas lingkungan yang semakin buruk itu acapkali tak mampu mendorong kebijakan yang lebih pro terhadap lingkungan.

Pemerintah cenderung mengedepankan orientasi jangka pendek ketimbang belani kepentingan jangka panjang. Mengejar retribusi demi menambah pendapatan melalui izin tambang misalnya.

Di Kabupaten Pasuruan, izin-izin tambang menjamur dalam beberapa tahun terakhir. Bukan hanya melebihi daya dukung, hampir semua berada di daerah perbukitan.

Pembukaan tambang, otomatis akan mengubah topografi lahan. Sebab, kegiatan pertambangan akan diawali dengan menebang pohon (jika ada). Setelah itu, dilanjutkan dengan mengeruk tanah lapisan atas.

Sebagai dampaknya, lahan yang telah dikeruk akan kehilangan kemampuannya meresapkan air hujan. Karena resapan berkurang, air akan dengan cepat melimpas dengan cepat ke daerah di bawahnya. Atau ke sungai.

Baca Juga :   Unas dan Tahun Politik

Karena air melimpas dalam tempo cepat, badan sungai tak mampu menampung. Air pun meluap dan terjadilah banjir.

Tentu, cepatnya air limpasan bukan satu-satunya penyebab banjir. Sebab, pembukaan lahan untuk tambang juga akan menghadirkan gemburan tanah yang akan menjadi sedimen saat terbawa hujan. Dan sungai pun menjadi dangkal.

Narasi seperti ini hampir pasti semua pengambil kebijakan mengetahuinya. Tetapi, hanya sebatas tahu. Tidak lebih. Jadi, kalau kemudian banjir makin tahun makin sering terjadj, tidak perlu heran. Cukup salahkan hujan, seperti yang biasa dilakukan.

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pun sebenarnya telah menerbitkan dokumen Kebijakan Pembangunan Berketahanan Iklim. Akan tetapi alih-alih menjadi rujukan kebijakan pembangunan, dokumen tersebut tak ubahnya naskah skripsi yang hanya cocok untuk bahan diskusi. (*)