Penataan PKL di Kota Pasuruan : Komunikasi adalah Kunci

835
Walikota Pasuruan saat menemui para pedagang saat proses penataan PKL di alun - alun Kota Pasuruan | Foto : Amal Taufik

Pemkot Yogyakarta, ketika hendak menertibkan PKL di kawasan Malioboro mereka menggunakan diksi “Penataan” bukan “Relokasi”. Karena, keduanya memiliki perbedaan makna yang jauh.

Oleh : Fittriyah*

Pedagang Kaki Lima (PKL) menjadi perhatian khusus pemerintah pusat maupun daerah, termasuk PKL di Kota Pasuruan. Adanya revitalisasi Alun-Alun Kota Pasuruan dengan dibangunnya payung madinah, membuat alun-alun Kota Pasuruan semakin ramai dikunjungi.

Mengacu data yang tercantum di website resmi pemerintah kota pasuruan (pasuruankota.go.id), pada tahun 2022, pengunjung Alun-Alun Kota Pasuruan mengalami kenaikan 35 persen atau sebesar 139.336 orang dari tahun sebelumnya.

Tentu, adanya kenaikan pengunjung ini harus dibarengi dengan penataan parkir dan PKL di sekitar Alun-Alun Kota Pasuruan agar tetap terlihat cantik dan bersih. Akan tetapi, proses penataan PKL yang dilakukan oleh Wali Kota Pasuruan, Saifullah Yusuf (Gus Ipul) masih belum terlihat titik temu. Ada beberapa kebijakan penataan PKL yang dilakukan oleh Gus Ipul, mulai dari PKL hanya diperbolehkan berjualan dari pukul 15.00-23.00 WIB, jarak kantin ke trotoar selebar 6-7 meter, dan lokasi parkir ditempatkan di sisi trotoar luar atau seberang jalan.

Pada bulan Maret 2023, simulasi penataan PKL dan parkir di Alun-Alun Kota Pasuruan diprotes oleh PKL dan pemilik toko di sekitar Alun-Alun Kota Pasuruan. Pedagang protes karena merasa takut jika pendapatannya berkurang.

Menanggapi protes tersebut, Gus Ipul menegaskan bahwa pemerintah Kota Pasuruan masih mencari solusi tentang penataan PKL dan parkir di Alun-Alun Kota Pasuruan.

Komunikasi Adalah Kunci, Penataaan PKL ?

Menurut, George C. Edwards III ada empat variabel syarat implementasi kebijakan dapat berhasil, yakni Komunikasi (communications), Sumber Daya (resource), sikap (dispositions atau attitudes) dan struktur birokrasi (bureucratic structure). Keempat variabel ini harus dilaksanakan secara simultan karena antara satu dengan lainnya memiliki hubungan yang erat. George C. Edward III bahkan dalam teorinya meletakkan komunikasi adalah unsur paling utama dalam diagramnya.

Menurutnya, implementasi kebijakan akan berjalan efektif, apabila tujuan dari kebijakan dapat dipahami oleh masyarakat. Dan tujuan tersebut dapat dikomunikasikan secara tepat oleh pelaksana kebijakan. Pelaksana kebijakan yang dimaksud adalah para perangkat daerah dan stakeholder. Kemudian, komunikasi ini dilakukan secara konsisten dan seragam. Sebab, jika informasi yang disampaikan berbeda kepada masyarakat, maka akan melahirkan interpretasi yang berbeda pula. Apalagi ketika aktor pembuat kebijakan mengalami kebingungan dalam komunikasi menyampaikan tujuan kebijakan, maka dipastikan itu sangat mempengaruhi implementasi kebijakan.

Dari berbagai jurnal yang dibaca penulis terkait penataan PKL, komunikasi menjadi salah satu kunci kesuksesannya.

Contohnya pemkot Yogyakarta. Pemkot Yogyakarta, ketika hendak menertibkan PKL dikawasan Malioboro mereka menggunakan diksi “Penataan” bukan “Relokasi”. Karena, keduanya memiliki perbedaan makna yang jauh. Jika menggunakan kata relokasi, para PKL akan menganggap bahwa dia akan dipindahkan jauh dari tempat jualannya. Namun berbeda, jika menggunakan kata “Penataan”, mereka menganggap hanya ditata dan bukan dipindahkan ke tempat yang jauh. Penggunaan diksi-diksi ini dilakukan pemerintah Kota Yogyakarta saat melakukan penataan PKL di kawasan Malioboro.

Tidak hanya itu, pemerintah Kota Yogyakarta juga melakukan pendekatan dengan “Nyoto Bareng” sehingga komunikasi yang dibangun oleh pemerintah Kota Yogyakarta tidak hanya verbal namun juga nonverbal.

Presiden Jokowi saat menjadi Wali Kota Solo juga menggunakan komunikasi interpersonal “Nguwongke”. Selain melakukan penataan dengan membuat kawasan dan kantong-kantong dan memberikan SIUP dan TDP gratis, Jokowi juga melakukan pendekatan dengan pedagang kaki lima selama tujuh bulan dengan cara makan siang dan dialog. Dari contoh keduanya terdapat pola yang sama dari kedua kasus penataan PKL tersebut, yakni pola komunikasi verbal dan nonverbal yang dilakukan oleh pemerintah untuk melakukan penataan PKL. (sumber : Kompas.com)

Hasil penelitian pakar komunikasi, Albert Mahrabain, tentang komunikasi nonverbal menyimpulkan bahwa tingkat kepercayaan dari pembicaraan orang hanya 7% berasal dari verbal, 38 % dari vokal suara dan 55 % dari ekspresi muka. Albert juga menambahkan bahwa jika terjadi pertentangan antara apa yang diucapkan seorang perbuatanya, maka orang lain cenderung mempercayai hal-hal yang bersifat nonverbal (Cangara, 2004:99). Dari penjelasan tersebut, komunikasi nonverbal rupanya menjadi cukup penting dalam proses mempengaruhi kepercayaan seseorang terhadap komunikator.

Artinya, komunikasi merupakan kunci dari persoalan komunikasi pembangunan.
Pembangunan akan berhasil apabila komunikator dapat menyampaikan pesan dengan baik kepada komunikan. Dan tentunya, mendapatkan feedback dari komunikan sehingga timbullah perubahan sosial.

Penataan PKL di Alun-Alun Kota Pasuruan bisa berhasil jika komunikator dapat tuntas dalam menyampaikan pesan kepada komunikannya. Komunikator disini adalah Wali Kota, maka Wali Kota harus menemukan pola komunikasi yang pas untuk disampaikan kepada para komunikan (stakeholder dan PKL). Sehingga, pesan yang disampaikan dapat dipahami oleh komunikan.

*Penulis adalah Alumni Magister Ilmu Komunikasi Universitas Dr. Soetomo Surabaya

Website with WhatsApp Message
Follow Official WhatsApp Channel WARTABROMO untuk mendapatkan update terkini berita di sekitar anda. Klik disini.