Jalan Spiritual Muslim Tionghoa di Pasuruan

169

“Kami ini minoritasnya minoritas,” kata Hendra Priya Utama Tanto (43) saat ditemui WartaBromo, Senin (25/03/2024) lalu.

Oleh: Amal Taufik

SEBAGAI Ketua Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Pasuruan Raya, Hendra mencatat tidak banyak warga muslim tionghoa di Pasuruan Raya. Jumlah anggota PITI Pasuruan Raya sendiri tercatat tidak sampai 50 orang.

Hendra sendiri bukan muslim dari lahir. Ayahnya Konghucu, ibunya Kristen Protestan. Sekitar tahun ‘80-an, ayah Hendra memutuskan untuk masuk Islam. Sang ayah pada saat itu memiliki teman baik seorang ustaz. Ustaz inilah yang kemudian membimbing ayah Hendra masuk Islam.

Pada tahun 1996, Hendra yang berusia 15 tahun dan bersekolah di SMP Sang Timur, mulai mengenal Islam. Ia mengaku sebelum masuk Islam sempat punya sentimen negatif terhadap umat Islam. Hal ini dipicu karena dirinya kerap dipanggil ‘sinyo’ dan ia merasa risih dengan panggilan itu.

“Itu kan panggilan anak-anak keturunan Tionghoa. Sama seperti tole untuk anak-anak Jawa, kacong untuk anak-anak Madura. Tapi setelah masuk Islam, saya tahu itu bukan karena agamanya, tapi ya karena orangnya saja,” ujarnya.

Awal masuk Islam, Hendra sering diajak ayahnya ke musala. Di sana dia belajar salat dan mengaji. Bagaimana dia belajar bacaan-bacaan salat adalah dengan membaca teks-teks latin bacaan tersebut. Sebagai mualaf di usia 15 tahun, ia belum punya kemampuan membaca teks-teks yang berbahasa arab. Barulah setelah akrab dengan aktivitas ibadah secara Islam, ia belajar mengaji dengan teks-teks berbahasa arab.

Hendra adalah muslim yang cukup taat. Aktivitasnya di masjid selama bulan Ramadan ini cukup intens. Usai sahur ia mengaji di masjid. Sore sekitar pukul 16.00 WIB, ia mengaji di masjid hingga tiba waktu berbuka. Lalu pada 10 hari terakhir bulan Ramadan, Hendra juga ikut menderas Al Quran di masjid bersama jemaah lainnya. Selain itu, dalam Ramadan lima tahun terakhir, Hendra rutin membagikan makanan untuk berbuka di beberapa masjid dan musala. Bagi dia, hal ini juga merupakan bentuk ibadahnya di bulan Ramadan.

“Saya memaknai Ramadan sebagai momen menyucikan diri, takut sama Allah, benar-benar berusaha mencari pahala sebanyak-banyaknya. Mungkin di luar Ramadan kita melakukan hal yang kurang pas, ngaji juga kurang. Ramadan menjadi momen untuk lebih banyak baca Al Quran.”

Menurut Hendra, tidak ada yang berbeda antara umat Islam Tionghoa dengan umat Islam Jawa selama menjalani puasa di bulan Ramadan. Tidak ada budaya atau ritual khusus sebagai warga keturunan Tionghoa yang dia jalankan. Seperti kebanyakan umat muslim pribumi, keluarganya juga melakukan tradisi mudik saat lebaran, membeli baju baru untuk anak-anak, juga sungkem ke sanak saudara.

“Ya sama sih. Tidak ada yang berbeda. Kalau lebaran, saya mudik ke rumah mertua di Madiun. Kalau orang-orang lebaran masak-masak, kami juga masak-masak. Masak kambing di rumah mertua biasanya.”

Hendra memiliki tiga orang anak. Semuanya mengenyam pendidikan di sekolah Islam. Anak pertamanya sekarang nyantri di sebuah pondok pesantren di Kota Malang. Anak keduanya bersekolah di SMP Islam Terpadu di Kota Pasuruan. Sementara anak ketiganya bersekolah di SD Al Kautsar Kota Pasuruan.

Sejak menjabat sebagai Ketua PITI Pasuruan Raya, Hendra mengaku ingin terus mengakomodir umat muslim Tionghoa di Kota dan Kabupaten Pasuruan. Ia berharap PITI bisa menjadi wadah orang-orang muslim Tionghoa.

“Gerakan PITI itu untuk mengumpulkan muslim Tionghoa. Biar mereka tidak minder. Mungkin mereka malu atau minder. Jika bergabung di PITI banyak saudara, juga menambah teman dan membantu yang mualaf-mualaf,” tutur Hendra.

Muslim Tionghoa Sarkub

Saya menemui seorang muslim Tionghoa lain bernama Sulis Edi Wibisono (29). Berbeda dengan Hendra, Sulis sudah muslim sejak lahir. Tetapi meski muslim sejak lahir, Sulis mengaku dirinya sewaktu kecil tidak dekat dengan Islam.

Sejak SD hingga SMA, Sulis bersekolah di sekolah swasta non muslim. Bahkan sering ikut sekolah minggu. Ia lebih akrab dengan ritus-ritus ibadah kristiani dibanding Islam sewaktu kecil.

“Kelas 3 SMP saya diingatkan salat Jumat oleh teman sesama muslim Tionghoa. ‘Agamamu itu apa? Ayo salat Jumat’. Dan saya baru bisa baca doa salat waktu kelas 2 SMA. Saya tahunya hanya surat Al Fatihah,” kata Sulis.

Lahir dari keluarga muslim dan bersekolah di sekolah swasta non muslim, Sulis tumbuh dalam keberagaman beragama. Ayahnya, kata dia, sama sekali tidak mengekang dirinya harus seperti apa dalam beragama. Ia merasa seperti dibebaskan berproses mencari jalan spiritualnya sendiri.

Sulis menyebut, dirinya baru mendapat ‘pencerahan’ saat SMA. Dari situ dia mulai mengidentifikasi dirinya sendiri dan belajar agama Islam meski, pengakuannya, belum benar-benar utuh. Dia mulai belajar mengaji, membaca surat-surat pendek melalui teks latin. Berbagai video ceramah beberapa ulama di Youtube menjadi konsumsinya sehari-hari saat itu.

Yang menarik dari Sulis adalah dirinya merupakan sarjana kuburan atau sarkub. Istilah ini sangat akrab dengan warga Nahdliyin. Istilah ini muncul pada era ’90-an hingga awal tahun 2000 saat Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menjabat sebagai Presiden Indonesia ke-4. Gus Dur dikenal sebagai tokoh yang gemar ziarah ke makam auliya, baik itu makam yang sudah lazim diketahui umum ataupun yang hanya diketahui oleh orang-orang tertentu.

Kebiasaan berziarah itu sudah dia lakoni sejak SMA. Ia bercerita, suatu kali pernah memiliki masalah yang membuat pikirannya ruwet. Salah satu temannya memberi saran untuk berziarah ke sebuah makam di wilayah Kecamatan Winongan dan dia langsung berangkat ke sana.

“Waktu itu saya baca Al Fatihah dan ayat kursi di makam itu selama tiga jam,” tuturnya.

Secara tegas Sulis mengaku dirinya cenderung dekat dengan cara-cara ibadah ala Nahdlatul Ulama (NU). Ada beberapa tokoh nahdliyin yang dia kagumi, di antaranya adalah Gus Dur dan Gus Baha. Baginya, kedua orang itu sangat memengaruhi sudut pandangnya dalam beragama Islam.

Sampai sekarang pun Sulis masih gemar berziarah, walaupun tidak rutin dan terjadwal. Beberapa makam yang akrab dia ziarahi seperti makam KH Abdul Hamid, makam Mbah Semendi Winongan. Ia juga pernah berziarah ke makam Gus Dur di Jombang. “Saya suka berdoa. Suka berziarah. Tidak tahu, suka saja. Kalau pikiran kalut, saya ziarah,” kata dia.

Makam KH Abdul Hamid adalah jujukan paling dekat yang sering didatangi Sulis. Komplek makam tersebut selalu memberikan atmosfer yang berbeda saat didatangi. Sejuk dan menenangkan. Ia bercerita, suatu kali ayahnya sakit dan dia kemudian berziarah ke makam KH Abdul Hamid.

“Saya berpikir jalan satu-satunya dengan beramal atau ziarah. Saya ziarah ke makam Kiai Hamid. Pulang dari sana, ada ketenangan yang dirasakan.”

Menjelang lebaran seperti sekarang ini, sama seperti umat Islam di Indonesia, Sulis dan keluarganya biasanya melakukan persiapan di rumah. Bersih-bersih rumah, mempersiapkan suguhan, karena kerabat dan sanak saudaranya bakal datang ke rumahnya.

“Salat Idul Fitri kami sekeluarga bareng-bareng, lalu pulangnya open house. Sungkem orang tua. Saudara-saudara saya yang non muslim datang ke rumah, bawa opor ayam, ketupat. Lebaran hari ke-7 pasti dikirimi keluarga. Parcel lebaran pun juga selalu dikirimi keluarga,” ujar Sulis.(*)