Hari Buruh: Cerita Nestapa Pekerja Bank Pelat Merah

765
Foto adalah ilustrasi.

Menjadi pegawai bank adalah impian sebagian orang. Tetapi, siapa sangka, dibalik penampilannya yang rapih, menyimpan cerita memilukan.

Laporan: Asad Asnawi

JALAN hidup Febrianti (bukan nama sebenarnya) bak roll coster. Betapa tidak, hanya selang sehari, garis hidupnya berubah 360 derajat.

Satu hari di Februari, ia diliputi kebahagiaan. Tetapi, sehari kemudian, ia mendapat kabar dari pihak bank tempatnya bekerja bila dirinya dirumahkan. Sontak, suasana batin yang sebelumnya diliputi kebahagiaan berubah menjadi gundah gulana. “Benar-benar kacau,” katanya.

Perempuan berkerudung ini benar-benar tak menyangka bank pelat merah tempatnya bekerja memberhentikannya setelah tiga tahun lebih bekerja. Yang membuatnya tak habis pikir, keputusan sepihak itu ia dapat hanya selang sehari dari pernikahannya. “Pas hari libur pula”.

Febrianti menceritakan, menjadi pegawai bank adalah mimpinya sejak masih remaja. Berpakaian rapi, duduk di ruang ber-AC dan kerap menebar senyum pada nasabah, begitu ketika ia membayangkannya.

Sampai suatu ketika, peluang itu datang kepadanya. Tak lama setelah resign dari perusahaan manufaktur, ia mendapat kabar jika salah satu bank terbesar milik pemerintah sedang membutuhkan karyawan.

Tak ingin membuang peluang itu, ia pun segera mengirim aplikasi ke kantor bank dimaksud. Pucuk dicinta ulam tiba. Lamaran Febrianti diterima..”Saya ditempatkan di bagian customer service,” ujarnya.

Hari-hari pertama bekerja Febrianti penuh dengan sukacita. Bayaran kecil tak menjadi soal. Baginya yang terpenting mimpinya telah terwujud: menjadi pegawai bank.

“Siapa yang tidak seneng Mas. Bank pelat merah lagi, prestisius kan,” terangnya menceritakan. Padahal, di bank tersebut, ia tidak digaji bulanan. Melainkan harian, Rp100 ribu per hari. Sebagai konsekuensinya, Febriati tak menerima honor ketika hari libur. Termasuk ketika sakit.

Gaji tersebut tentu jauh dari Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) Pasuruan. Di Kota, UMK tahun 2023 lalu dipatok sebesar Rp3,08 juta. Sedangkan di Kabupaten, hampir tembus Rp5 juta.

Tentu, Rp2 juta per bulan (jika masuk sebulan penuh) jauh dari kata cukup. Sebab, untuk transport saja ia habis Rp300 ribu. Belum makan, kosmetik, atau pakaian.

“Kan di bank itu harus terlihat rapi terus. Namanya ketemu nasabah. Kosmetik pasti,” jelas Febriati. Yang tidak pernah ia perhitungkan juga adalah kostum. Dimana, pada moment hari-hari tertentu, bank biasanya mewajibkan karyawan untuk mengenakan pakaian tertentu. Misalnya saat Agustus, Natal, hari Kartini dan sebagainya.

Pandemi Covid-19 yang terjadi beberapa waktu lalu sempat membuat Febrianti kalang kabut. Pasalnya, ia yang didiagnosa positif Covid-19 terpaksa jalani karantina selama 14 hari yang itu berarti membuatnya tidak bekerja.

Walhasil, gaji yang ia terima dihitung berdasar jumlah hari ia masuk. “Itungannya ya nggak sampai satu juta yang saya terima,” ungkap Febrianti.

Tercatat tiga tahun lebih Febriati bekerja di bank pelat merah ini. Selama itu pula ia hanya disodori perpanjangan kontrak. Tanpa ada asuransi kesehatan maupun ketenagakerjaan.

Bagaimana dengan jam kerja? Ini yang menurut Febrianti sering disalahpahami banyak orang. Menurut Febrianti, banyak yang mengira bahwa pegawai bank memiliki jam kerja yang pendek, mengikuti jam operasional bank dari jam 08.00 sampai dengan jam 15.00.

Tetapi, anggapan itu salah. Sebab saat jam pulang kantor adalah awal permulaan pekerjaan-pekerjaan lain yang harus diselesaikan pada hari itu juga. Terlebih saat akhir pekan atau akhir bulan. Bisa dipastikan pulang saat malam.