Probolinggo (WartaBromo.com) — Tagar #BoikotTrans7 ramai bergema di media sosial sejak Selasa (14/10/2025) pagi.
Gelombang protes muncul dari berbagai kalangan, terutama masyarakat pesantren dan para santri.
Usai salah satu tayangan program Xpose Uncensored di stasiun televisi Trans7 dinilai menampilkan narasi yang menyinggung lembaga pendidikan Islam.
Tayangan tersebut menyoroti kehidupan di pondok pesantren dengan judul yang dianggap provokatif, yakni “Santrinya minum susu aja kudu jongkok, emang gini kehidupan di pondok?”
Potongan video itu memperlihatkan sejumlah santri yang menyalami seorang kiai yang duduk, disertai cuplikan kiai turun dari mobil mewah.
Narasi dalam tayangan itu kemudian mengaitkan kebiasaan santri mencium tangan kiai dengan isu pemberian amplop dan kemewahan.
“Yang ngesot itulah yang ngasih amplop. Bisa jadi ini sebabnya sebagian kiai makin kaya raya,” demikian salah satu potongan narasi yang kini viral di media sosial.
Cuplikan tersebut menuai reaksi keras dari publik. Banyak yang menilai, tayangan itu melecehkan tradisi pesantren dan merendahkan hubungan santri–kiai yang selama ini dijunjung tinggi dalam budaya keislaman di Indonesia.
Sejumlah tokoh pesantren dan warganet menilai tayangan tersebut tidak berimbang dan cenderung menebar stigma negatif. Program itu dianggap menampilkan pesantren secara sepihak tanpa riset mendalam dan tanpa klarifikasi dari pihak terkait.
“Kritik sosial tentu boleh, tapi seharusnya disampaikan dengan riset dan menghormati nilai keagamaan. Tayangan ini cenderung menghakimi,” tulis akun @santrimelawan dalam unggahan di Instagram.
Nada serupa disampaikan akun @dutaprestasimuda yang menyayangkan penyajian tayangan tersebut.
“Kami menyayangkan tayangan yang cenderung memojokkan kiai dan pesantren, khususnya Pondok Pesantren Lirboyo. Kritik boleh, tapi jangan sampai merendahkan,” tulis akun tersebut.
Konten Xpose Uncensored dinilai gagal menjalankan prinsip dasar jurnalisme yang berimbang dan bertanggung jawab. Tayangan tersebut berpotensi menimbulkan kesalahpahaman publik terhadap pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan.
Ansor Jatim: Media Harus Bangun Literasi, Bukan Stigma
Pimpinan Wilayah Gerakan Pemuda Ansor Jawa Timur (PW GP Ansor Jatim) menjadi salah satu pihak yang paling vokal menyuarakan protes. Melalui pernyataan resminya, Ansor menegaskan bahwa media memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga kualitas literasi publik.
“Media seharusnya membangun literasi publik, bukan menebar stigma. Jika Trans7 berani menyiarkan fitnah, publik juga berhak untuk menolak, mengingatkan, dan memboikot,” kata Ketua PW GP Ansor Jatim, Musaffa Safril.
Ansor menilai, tayangan yang menyudutkan pesantren tanpa dasar riset dan klarifikasi merupakan bentuk pelanggaran etika jurnalistik. Mereka juga memberi waktu 1×24 jam bagi pihak Trans7 untuk memberikan klarifikasi terbuka dan permintaan maaf resmi kepada publik.
“Ini bukan soal kebencian, tapi perlawanan moral terhadap ketidakadilan informasi,” lanjut pernyataan itu.
Sejauh ini, pihak Trans7 belum memberikan tanggapan resmi terkait polemik ini. Beberapa unggahan di akun media sosial resmi Trans7 tampak menonaktifkan kolom komentar usai tayangan tersebut menuai kritik.
Sejumlah pengamat media menilai, kontroversi ini menjadi pengingat bahwa kebebasan pers tetap harus diimbangi dengan tanggung jawab etik.
“Media berperan penting dalam membangun kesadaran publik. Namun jika narasi disampaikan tanpa konteks dan verifikasi, dampaknya bisa memecah kepercayaan masyarakat,” kata M. Noer Fadli Hidayat dari Universitas Nurul Jadid Probolinggo, Selasa (14/10/2025).
Pesantren dan Nilai Kebangsaan
Dalam konteks sosial keagamaan di Indonesia, pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua yang berperan besar dalam membentuk karakter bangsa. Pesantren tidak hanya menjadi tempat belajar agama, tetapi juga ruang pembentukan akhlak, kedisiplinan, dan nilai kebangsaan.
Bagi kalangan pesantren, tayangan yang menggiring opini secara negatif terhadap kiai dan santri bukan sekadar kesalahan redaksional, tetapi dianggap sebagai bentuk pelecehan terhadap tradisi keilmuan Islam. (saw)