“Pesantren itu, tempat di mana keheningan lebih berisik daripada kebisingan alam nyata. Saat orang sibuk update story, santri sibuk update iman. Saat dunia berlomba trending, pesantren masih setia menyalakan cahaya dalam kegelapan zaman.”
Oleh: Abdur Rozaq
Warung Cak Sueb malam itu seperti biasa, menjadi medan obrolan tak tentu arah, tapi sering berakhir bijak. Di pojokan, duduk Gus Karimun dengan sarung bergaris, songkok hitam, dan tatapan sendu.
Di sekelilingnya ada Cak Paijo LSM, Cak Manap, Wak Takrip, dan Mahmud Wicaksono. Empat pelanggan tetap warung yang lebih percaya pada informasi intelijen warung kopi, daripada hasil survei pesanan atau komentar serentak ala chatbot di media sosial.
“Blaen, pesantren jadi bulan-bulanan di media sosial,” kata Gus Karimun setelah menyeruput kopi, “padahal kalau tidak ada pesantren, mungkin Indonesia ini sudah game over, kukut.”
“Lho, kok bisa, Gus?” Heran Cak Paijo mengernyit
“Ya bisa. Waktu Walisongo menyebarkan Islam, yang mereka bangun pertama bukan pasar, bukan istana, tapi pesantren. Dari sana lahir ilmu, lahir adab, lahir cara berpikir. Kalau tidak ada pesantren, mungkin kita tidak serukun ini.”
“Pesantren itu bukan cuma tempat santri mengaji, Cak Paijo. Pesantren itu kawah candrdimuka manusia. Dari sanalah lahir guru, petani, dai, bahkan pejuang. Tapi lucunya, sekarang pesantren malah dihujat oleh orang yang belum pernah melihat pagar pesantren.”
“Coba sampeyan pikir,” lanjut Gus Karimun, “dari zaman Walisongo sampai Pangeran Diponegoro, siapa yang menggerakkan rakyat kalau bukan para kiai? Diponegoro itu kiai, lho. Imam Bonjol kiai. Kiai Hasyim Asy’ari, pendiri NU, juga mantan santri. Yang mengajari bangsa ini arti merdeka bukan cuma para pemimpin yang fotonya terpampang di kelas-kelas sekolahan, tapi para kiai yang tak segan menghunus keris saat mengusir para penjajah.”
Gus Karimun menatap keluar jendela, nampak lapak cukur rambut Mahmud Wicaksono yang selalu sepi pelanggan.
“Pesantren itu sudah menjaga Indonesia sebelum Indonesia berdiri. Tapi sekarang, orang lupa menjaga pesantren. Pesantren di-ece-ece tak ada yang meluruskan fakta.”
“Tapi Gus, katanya pesantren itu anti kemajuan?” Celetuk Cak Manap polos. Khas korban framming chatbot di media sosial.
“Lho, justru karena itu!” jawabnya cepat. “Kalau semua hanyut oleh arus zaman, siapa yang menjaga akar kita? Yang menjaga agama, menjaga adab, menjaga doa di sepertiga malam agar Indonesia tetap baik-baik saja dan kita masih bisa utang kopi? Pesantren itu jangkar. Kalau jangkar diangkat apalagi dibuang, kapal bangsa ini bisa hanyut.”
“Sekarang zamannya teknologi, Gus,” kata Cak Paijo, sok kemajon.
“Betul,” kata Gus Karimun, “tapi jangan lupa, pesantren punya prinsip menjaga tradisi kuno yang baik, sekaligus mengadopsi kemajuan yang lebih baik. Jangan dikira para santri hanya belajar kitab kuning soal agama. Dari kitab Falasifa mereka belajar filsafat, dari kitab karya Ibnu Khaldun mereka belajar politik, dari kitab karya Aljabri mereka belajar algoritma. Hanya saja karena berbahasa Arab atau pego, dianggap orang hanya kitab agama dan perdukunan.”
“Dulu para santri mengaji pakai lentera minyak, sekarang mengaji pakai tablet. Bedanya cuma alatnya, bukan niatnya. Dulu hafalan disimpan di kepala, sekarang disimpan di cloud. Tapi nilai-nilainya masih sama: ngaji, ngamal, ngaji lagi.”
“Tapi Gus, banyak yang bilang pesantren itu nggak produktif?” Celetuk Cak Sueb.
“Produktif itu maksudnya apa, Cak Sueb? Kalau membikin startup iya mungkin belum banyak. Tapi kalau mencetak generasi yang tidak gampang marah, yang tidak nyinyir di medsos, itu kan hasil produksi juga. Cuma sayangnya, akhlak tidak bisa di-upload ke marketplace.”
“Coba kita renungkan,” kata Gus Karimun sambil menyulut rokoknya, “setiap kali negeri ini dilanda bencana, siapa yang pertama datang? Santri. Mereka buka dapur umum, mengalang donasi, membantu masyarakat tanpa kamera. Tapi yang viral justru yang selfie di lokasi bencana, hanya bermodal bantuan tak seberapa.”
“Kalau pesantren salah sedikit, berita ramai tujuh hari tujuh malam. Tapi kalau pesantren menyekolahkan anak yatim gratis bertahun-tahun, tidakak ada yang meliput. Mungkin karena kebaikan tidak punya algoritma yang menarik.”
“Kebaikan kalah sama clickbait, Gus.” Timpal Mahmud Wicaksono.
“Betul,” jawab Gus Karimun, “makanya pesantren tetap memilih jalan sunyi. Karena kalau niatnya pamer, buat apa?”
“Sekarang ini,” katanya lagi, “banyak yang menghujat pesantren dengan logika instan. Katanya pesantren itu anti modernisasi, padahal mereka belum pernah masuk halamannya. Saya heran, ini mau menilai lembaga pendidikan, kok pagarnya tidak pernah melihat. Sudah begitu, koar-koar sok ilmiah, pakai nalar, berdasarkan data. Yang parah, orang awam ikut-ikut latah. Wes mbuh.”
“Saya tidak marah, cuma merasa lucu saja. Kok yang paling ribut soal pesantren, justru yang belum pernah mondok? Jangan-jangan mereka takut disuruh bangun subuh.” Semua tertawa. Wak Takrip sampai lepas gigi palsunya.
“Kritik itu boleh,” lanjutnya, “tapi kalau kritiknya hanya berdasarkan scrolling dan jarene, bukan dari riset, itu bukan kritik, itu cuma dugaan.”
“Sampeyan tahu, Cak Paijo,” katanya lebih pelan, “pesantren itu bukan cuma soal hafalan. Di sana anak-anak belajar makna menghargai, melayani, dan mendoakan. Nilai-nilai yang jarang diajarkan di sekolah formal. Karena di pesantren, yang diajarkan bukan cuma jadi pintar, tapi jadi manusia.”
“Dulu waktu penjajah datang,” kata Gus Karimun, “santri tidak lari. Mereka turun ke medan perang dengan perasaan pas. Merdeka, atau syahid! Tanggal 22 Oktober 1945, Resolusi Jihad lahir dari para kiai. Dan dari situlah bangsa ini tidak kembali dijajah. Tapi sekarang, yang lahir malah resolusi debat di kolom komentar. Tanpa data empiris, mengaku ilmiah dan pakai nalar lagi.” Seisi warung ngakak bersamaan. Menertawakan kepongahan entah siapa.
“Santri dulu rela mengorbankan nyawa, sekarang santri masih harus mengorbankan pikiran untuk menjaga moral bangsa. Tapi siapa yang tahu? Mereka terlalu lillahi ta’ala sehingga tak sempat framming karena khawatir tidak ikhlas.”
“Kalau ada yang bilang pesantren ketinggalan zaman,” lanjutnya, “itu karena mereka cuma melihat dari jauh. Coba datang, lihat sendiri. Di sana anak-anak belajar hidup sederhana tapi berharga. Makan seadanya, tapi hatinya ikhlas. Karena di pesantren, yang kenyang bukan cuma perut, tapi juga jiwa dan rohani.”
“Pesantren itu, tempat di mana keheningan lebih berisik daripada kebisingan alam nyata. Saat orang sibuk update story, santri sibuk update iman. Saat dunia berlomba trending, pesantren masih setia menyalakan cahaya dalam kegelapan zaman.”
“Kadang saya berpikir,” katanya lagi, “mungkin pesantren memang sengaja dibiarkan sederhana. Supaya tidak kehilangan makna. Karena kalau terlalu gemerlap, nanti orang datang bukan untuk belajar, tapi untuk berfoto. Masa ada tirakat gaya hedon?”
“Negeri ini masih tegak bukan hanya karena ekonomi kuat, tapi juga karena doa masih naik tiap malam dari kamar-kamar santri yang remang. Kalau doa-doa itu berhenti, kita semua mungkin sudah beda propinsi karena Indonesia dibagi-bagi oleh asing.”
“Tapi Gus, sekarang kan orang bisa belajar agama lewat chat GPT,” protes Cak Paijo LSM.
“AI itu pintar, tapi tidak punya hati. Kalau kita bertanya tentang sabar, bisa jadi dia memberi definisi. Tapi kalau kita bertanya tentang hidup, bisa jadi ia cuma bilang ‘Maaf, saya tidak memahami konteks emosi Anda’.”
“Jadi jangan bandingkan pesantren dengan mesin. Mesin bisa cepat, tapi tak punya jiwa.
“Saya tahu, banyak pesantren juga punya kekurangan,” kata Gus Karimun dengan jujur. “Tapi kekurangan itu tidak lebih besar jasanya. Karena selama ratusan tahun, pesantren tetap jadi benteng moral bangsa. Waktu yang lain sibuk mencaci, pesantren sibuk menanam kesabaran.”
“Jasa pesantren itu seperti aka. Tidak kelihatan, tapi menahan pohon tetap tegak. Kalau akar dipotong, pohon tumbang. Kalau pesantren dicerabut, bangsa ini kehilangan napas.”:
“Saya tidak minta semua orang mencintai pesantren. Tapi setidaknya, berhentilah menghujat tanpa tahu. Karena kenapa Indonesia masih utuh, itu karena masih ada kiai yang selalu merajut benar persatuan, setiap kali ada pihak yang menggunting bahkan membakarnya.”
“Yang paling lucu,” katanya sambil tersenyum, “orang yang benci pesantren itu belum tentu tidak berniat kurang baik, mungkin cuma belum sempat ngopi sama kiai.”
Cak Sueb datang membawa catatan kasbon para peminum kopi malam itu . Gus Karimun menatapnya dan berkata,
“Cak Sueb, kopinya utang dulu. Saya bayar kalau bangsa ini mulai menghargai jasa pesantren.”
Cak Sueb tertawa, “Kalau nunggu itu, Gus, warung ini bisa jadi cagar budaya.” Tawa pecah di antara malam yang mulai larut, sementara lapak cukur rambut Mahmud Wicaksono belum juga didatangi pelanggan. Meski seorang demit, misalnya.
Selamat Hari Santri!





















