Sisi Gelap Dunia Digital dan Disrupsi Demokrasi

168

Berdasarkan perkembangan demokrasi kontemporer, dunia digital ternyata juga memiliki sisi buruk bagi perkembangan demokrasi di dunia. Salah satunya adalah peristiwa ngototnya Donald Trump dalam pemilihan presiden (pilpres) Amerika Serikat yang digelar pada November tahun 2020.

Oleh : Moh. Anas,Ketua Bawaslu Kota Pasuruan

Fenomena transformasi digital seperti tergambar dalam derasnya arus penetrasi berbagai layanan yang ditawarkan media sosial, mesin pencari dan aplikasi e-commerce pada gilirannya justru nampak seperti pisau bermata dua. Mereka menawarkan pembebasan sekaligus secara laten memendam penguasaan yang intens. Mereka menyajikan kemungkinan liberasi sekaligus menunjukkan adanya kencenderungan instrumentalisasi. Dunia digital menawarkan peluang-peluang menjanjikan bagi tumbuh kembang ekonomi kreatif yang ternyata justru menciptakan struktur kapitalisme baru yang memusatkan keuntungan ekonomi digital global hanya pada perusahaan raksasa dari beberapa negara saja.

Perlu adanya perspektif kritis dalam memandang fenomena digitalisasi ketika pada umumnya publik terkesan hanyut dalam arus penetrasi layanan yang ditawarkan oleh media sosial, mesin pencari, mesin penyimpanan dan aplikasi e-commerce. Publik harus juga diberi sajian lain berupa hasil investigasi atas sisi-sisi ‘gelap’ fenomena digitalisasi. Publik membutuhkan keseimbangan cara pandang dalam menyikapi transformasi digital. Bahwa digitalisasi global membawa pengaruh positif sekaligus memunculkan potensi adanya dampak destruktif. Dalam konteks tersebut, sumbangan perspektif yang membuka wawasan dalam menyikapi fenomena digital yang terjadi secara global sangat perlu dan mendesak.

Dimensi ekonomi politik digitalisasi, kajian kritis terhadap aspek psikologi, psikologi massa, serta epistemologi atas munculnya media baru yang semakin mendominasi kehidupan publik saat ini. Pembaca perlu diajak untuk memikirkan berbagai fenomena digitalisasi dalam pandangan-pandangan yang paradoksal. Yakni, antara membebaskan atau justru membelenggu, memberdayakan atau malah memanipulasi, memberadabkan manusia atau sebaliknya, memperluas kesempatan atau justru mendisrupsi.

Terdapat upaya untuk membongkar mitos atas klaim-klaim yang selama ini disematkan kepada media sosial, mesin pencari maupun aplikasi-aplikasi e-commerce yang seolah-olah ditawarkan secara gratis. Padahal ketika kita mangakes saalah satu platform digital misalnya marketplace, kita justru harus menukarnya dengan data pribadi kita. Adanya diskursus berupa media sosial bukan semata-mata hanya sebagai sarana interaksi sosial, melainkan juga sarana komodifikasi, komersialisasi, bahkan menjadi sarana surveillance (mata-mata). Bahwa tidak ada yang benar-benar gratis dari semua layanan digital yang selama ini ditawarkan kepada para pengguna internet. Berbagai layanan yang seolah-olah gratis itu harus ditukar dengan data pribadi pengguna internet yang justru memang benar-benar gratis. Meskipun dengan dalih didasari atas ‘persetujuan’ pengguna internet. Seorang pengguna Facebook misalnya, ia tidak bisa mengunggah foto tanpa terlebih dahulu memberi izin Facebook untuk mengakses lokasi serta memori ponsel miliknya.

Platform mesin pencari dan media sosial tidak hanya memberi cara baru dalam kerja-kerja jurnalisme serta penyebaran berita, akan tetapi juga menghadapkan para pengelola industri media massa tradisional (koran, majalah, tabloid, tv, dan radio) pada persaingan usaha media yang tidak imbang. Oplah, jumlah pendengar, dan jumlah pemirsa tv terus mengalami penurunan sejak munculnya media baru berbentuk daring (online).