Seorang Ibu sowan kepada Ustadz Karimun. Mengeluhkan anaknya yang disinyalir mengalami kelainan DNA. Secara fisik bocah tersebut memang tanpa cela, bahkan mendekati sempurna. Postur, wajah, kulit, rambut tercetak dengan model mutakhir,camera face kata orang. Hanya sayang, meski masih duduk di bangku SLTP, ia sudah licin dan mata keranjang seperti James Bond, liar seperti Rambo, urakan seperti para koboi,brutal layaknya Steven Seagal dan suka nekat bak samurai. Ayah dan Ibunya bahkan telah takluk seperti seorang sandera di hadapan para teroris. Apapun yang ia minta harus tersedia dan harus diiyakan.Kalau tidak, bisa fatal akibatnya. Gurunya di sekolah angkat tangan karena anak nakal dilindungi undang-undang. Pemerintah—atas saran zionis—telah mengesahkan undang-undang yang melindungi anak-anak nakal dari hukuman guru. Hukuman semacam apapun tak boleh diberikan kepada anak-anak meski senakal apapun ulahnya demi agenda besar perusakan moral yang dalam jangka panjang akan menggratiskan negeri ini kepada para zionis. Pak RT kewalahan dan para orang tua sering menyekap anak gadisnya ketika iakerasan di sebuah kampung. Ibunya bahkan curiga ia tertukar dengan kloning Ifrit saat diinkubasi di rumah sakit dulu.Hatinya secadas batu karang. KalauSayyidina Umar Bin Khattab yang mantan koboi saja masih mampu menangis dan tak anti kebenaran, bocah ini malah alergi benar dengan cahaya. Untuk digiring pada kebaikan,rayuan atau gertakan apapun takkan bisa meluluhkan hatinya. Jangankan mengerjakan shalat, untuk tak melakukan keonaran seharipun ia belum terbiasa. Ia begitu gerah dengan segala bentuk perbuatan baik, tapi selalu menjadi panitia dari hampir seluruh perbuatan belum baik. Jika dipikir-pikir, sebenarnya ia lebih brutal dari Iblis yang dilaknat Allah habis-habisan “hanya” karena melanggar satu perintah saja. Sedangkan dia, semua perintah Allah ia tinggal dan hampir segenap larangan Allah ia kampanyekan. Siapa sangka anak ingusan sepertinya sudah meraih “sabuk hitam” di beberapa bidang kenakalan: God father para pemalak, pencabul, pengedar pil kucing dan geng sekolah.
Ustadz Karimun lantas mewawancarai Ibunya. Mengidentifikasi asal muasal kejanggalan tersebut.
“Bagaimana proses produksinya?” tanya Ustadz Karimun. Ibunya hanya diam.
“Bu, bagaimana proses produksinya dulu?” Ibu muda berambut merah dan bercelana presbodi itu hanya diam. Tak mungkin jika beliau mengungkap aib bahwa anaknya “tercipta” setelah beliau bedah film biru kemudian mengerjakan PR. Beliau juga yakin “Rambo” diproduksi jauh sebelum beliau menikah dengan sang suami. Ustdaz Karimun ahirnya mengerti dengan tsukutuha jawabuha –diam adalah jawaban iya—si ibu. Beliau tak mengulangi pertanyaanya.
“ Siapa namanya?”. Lanjut sang Ustadz setelah itu.
“ Jack Vodcha Danils, ustadz” sangustadz kagum benar dengan nama itu. Begitu modern, mewah, gersang dan sedikit tragis.
“Tanpa Muhammad atau Ahmad di depannya?” tanya ustadz lagi.
“Itu kuno, ustadz”




















