Kisah Tuna Aksara : Anak Malu Punya Bapak Tak Bisa Membaca

750

belajar-membacaMaron (wartabromo)Pendidikan tidak memandang usia, sebab pendidikan berlangsung sepanjang hayat. Hal ini rupanya mengilhami Basar (59), warga Dusun Brugen, Desa Maron Kidul, Kecamatan Maron, Kabupaten Probolinggo, untuk belajar. Bagaimana perjuangannya?

Suara cukup lantang, ketika Basar bersama salah satu rekannya membaca naskah yang dibawanya. Mimiknya cukup serius, saat ia membaca tulisan : nama saya Basar, asal Desa Maron Kidul…. dan seterusnya.

Ia bergabung dengan ratusan peserta keaksaraan fungsional yang akan mendapat tanda kelulusan, yakni SUKMA (Surat Keterangan Melek Aksara). Wajahnya tampak sumringah ketika disalami oleh Bupati Probolinggo Hj Tantriana Sari.

“Tidak menyangka akan bertemu dan bersalaman dengan beliau,” ujarnya bangga.

Ia kemudian bertutur mengenai keikutsertaannya dalam keaksaraan fungsional. Tiga tahun lalu, Mahtumah Santi (12), putri bungsunya mengatakan malu mempunyai ayah dirinya. Rasa malu ini bukan karena kemiskinan, melainkan karena orang tuanya tidak dapat membaca dan menulis.

Baca Juga :   Sakit, Siswa SD IT Permata Tetap Semangat Ikuti Ujian Di Rumah Sakit

“Waktu itu, anak saya masih duduk dibangku kelas IV Madrasah Ibtidaiyah. Suatu hari sepulang sekolah, Santi menangis karena diejek oleh teman sekolahnya. Ketika saya tanyakan mengapa, ia jawab karena bapak tidak dapat membaca,” tuturnya.

Melihat anaknya menangis dan tidak ingin kejadian tersebut terulang kembali, ia terketuk hati. Bak gayung bersambut, pada saat itu pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM) Kartini Maron, mencari peserta keaksaraan fungsional. Ia kemudian ikut serta menjadi peserta bersama dengan puluhan warga lainnya.

“Saya waktu itu menemui pak Buasin, ketua PKBM, yang kebetulan tetangga saya. Saya meminta untuk diajari cara membaca,” ujar ayah lima anak ini.

Buruh tani ini mengaku pada awalnya merasa sangat kesulitan untuk melafalkan abjad. Sebab seumur hidunya, ia belum pernah mengenal yang namanya bangku sekolah.

Baca Juga :   Sempat Kritis, Siswa SMPN 1 Pohjentrek Akhirnya Tewas Setelah Terlindas Truk

“Orang tua saya miskin, sehingga sejak kecil tidak pernah sekolah. Karena terbentur dengan himpitan kebutuhan ekonomi, itulah mereka tidak menyekolahkan saya. Mereka hanya mengarahkan saya untuk bekerja dan bekerja,” kenangnya.

Lelaki yang tidak tahu persis tanggal lahirnya ini pun, belajar selama tiga tahun di PKBM tersebut. Ia melafalkan satu persatu huruf dan angka yang diajarkan oleh tutornya. Biasanya selepas ashar, ia berangkat ke kantor PKBM, yang letaknya sekitar 200 meter dari rumahnya.

“Cukup jalan kaki saja,” tuturnya.

Disana selama hampir tiga jam ia belajar dengan tekun dan bersungguh-sungguh. Hal itu dilakukan agar dirinya mampu membaca dan menulis. Bahkan dirumahnya, dikala senggang ia membaca buku tulis dan buku sekolah milik putrinya.

Baca Juga :   Tren Korupsi Aparat Desa di Pasuruan Meningkat

Basar, mengaku senang kini dirinya merasakan  kebanggaan yang luar biasa. Menurutnya dengan dapat membaca dirinya kadang kala menemani cucunya belajar.

“Bangga Mas. Karena sudah bisa membaca dan menemani cucu belajar,” ujar kakek lima cucu ini.

Meski dirinya tidak pernah mengenyam pendidikan secara formal, namun semua anaknya mampu menamatkan pendidikan sekolah. Rata-rata kelima anaknya lulusan sekolah menengah pertama, sedang cucunya mampu menamatkan pendidikan di sekolah menengah atas.

“Cukup saya saja yang tidak bersekolah, jangan sampai anak cucu mengikuti jejak saya. Karena menjadi orang bodoh ternyata, sering kali ditipu orang,” pungkasnya. (rhd/yog)