“Saya Ingin Tetap Ada, Nggak Mati”

1374
hambangan1
Ilustrasi / foto by : smartphotography.asia

Nguling (wartabromo) – Seperti umumnya kesenian tradisional di Kabupaten Pasuruan, nasib Hambangan tidak menentu, kembang kempis, hidup segan mati tak mau, karena memang tidak mendapat perhatian dari pemerintah. Pemerintah lebih sibuk dengan even-even modern yang bahkan tidak memiliki akar budaya Pasuruan.

Kesenian-kesenian tradisional merupakan kekayaan budaya yang seharusnya tetap dijaga dan dilestarikan sebagai wujud tanggungjawab pada generasi yang akan datang. Kepunahan tradisi dan kesenian tradisional akan menjadi ‘dosa’ yang tidak termaafkan.

Nasib Hambangan sangat memperihatinkan dan terancam punah meski para seniman sudah mencoba bertahan dan memperjuangkannya. Tidak usah muluk-muluk memimpikan sebuah sanggar, seperangkat gamelan saja mereka tidak punya.

“Kalau mau tampil yang pinjam ke sana-kemari,” kata Abdul Rohman, mantan Kepala Desa Mlaten.

Abdul Rohman yang juga penggerak Hambangan Mlaten bersama beberapa tetua  selalu sibuk mengumpulkan seniman jika ada undangan tampil. Mengeluarkan dana untuk logistik latihan dan pontang-panting mencari pinjaman uang untuk sewa gamelan hingga biaya transportasi ke lokasi tujuan.

Baca Juga :   Korban Penipuan CPNS Membengkak, Jadi 10 Orang

“Kalau ada undangan yang spontan saja latihan. Rata-rata kan mereka sudah terbiasa jadi nggak perlu lama latihannya,” jelasnya.

Dahulu, kata dia hampir semua desa di pesisir Nguling memiliki kelompok Hambangan. Namun saat ini hanya terdapat di Desa Mlaten. Para seniman dari luar desa seperti Penunggul dan lainnya ikut bergabung di kelompok Hambangan Mlaten.

Di tengah liku dan kesulitan tersebut, terdapat sesuatu yang melegakan karena regenerasi seniman Hambangan berjalan tanpa hambatan. Para pemusik maupun penari yang sudah ingin berhenti karena faktor usia atau hal lain bisa segera mencari pengganti. Bahkan saat ini, sebagian besar penari Hambangan adalah perempuan berusia muda.

“Kami bersyukur karena masih banyak anak muda yang mau diajak nari. Semangat mereka bukan lagi uang, tapi untuk melestarikan tradisi,” kata dia.

Baca Juga :   Akta 0-18 Tahun Lebihi Target, Kota Pasuruan Raih Penghargaan

Memang ada sejumlah uang yang harus dibayarkan pihak yang menghadirkan Hambangan. Namun uang tersebut lebih banyak untuk biaya sewa gemelan dan transportasi.

“Sekali tampil Rp 10 juta. Itu buat sewa gamelan dan akomodasi. Sisanya baru dibagikan,” ujarnya.

Tijah (55), penari Hambangan paling senior mengatakan selama ia mengabdikan diri pada kesenian ia tidak pernah mempermasalahkan jumlah rupiah yang dia dapatkan. Selain sebagai sarana mengekspresikan diri, niatannya untuk menjaga tradisi dan memberikan hiburan jadi daya pendorong dan energi yang tidak pernah habis.

Ia pun mengaku tidak keberatan jika putrinya mengikuti jejaknya sebagai penari Hambangan. “Kan tidak menganggu pekerjaan lain. Nari juga jarang-jarang,” ujar Tijah.

Baca Juga :   Curhat PSK Tretes Alasannya Terjun ke Dunia Esek-esek

Tijah akan terus menari sampai sendi kaki dan tanganya tidak kuat lagi. Tijah dengan senang hati akan mengajarkannya kepada siapa saja yang ingin belajar Hambangan.

Hal senada diungkapkan Fatimah (25), penari Hambangan termuda di Mlaten. Ia mengaku senang bisa bergabung dengan kelompok penari Hambangan di desanya. Seperti Tijah, motivasinya bukan imbalan materi. “Saya ingin Hambangan tetap ada, nggak mati,” kata perempuan perparas manis ini.

Semua penari Hambangan merupakan ibu rumah tangga. Suami mereka yang bekerja sebagai nelayan juga mendukung kegiatan mereka.

“Kami Ingin Punya Gamelan”

“Seperangkat gamelan” itulah jawaban seniman Hambangan Mlaten setiap kali ditanya apa yang paling mereka inginkan.