Puasa Orang Biasa

1071

tetotDi televisi, artis yang pernah nyambi dagangan kehormatan pun ikut-ikutan pakai hijab. Tapi masyarakat di kampung Gus Hafid sangat lillahi ta’ala dalam berpenampilan. Tetap apa adanya saat bulan puasa begini. Tidak lantas sok alim, pakai kostum agamis dalam rangka mengikuti trend atau sekedar memperbaiki imej.

Bulan puasa, bulan dimana banyak orang sibuk mengislam-islamkan segala hal, semua orang di kampung Gus Hafid juga tetap apa adanya. Tetap liberal seperti rakyat Amerika ketika mereka belum merasakan kerinduan massal terhadap spiritualitas.

Anak-anak tetap balapan motor hingga menjelang sahur, tetap jalan-jalan sore dengan pasangan masing-masing, nongkrong di pos-pos ronda seraya genjrang-genjreng gitar. Sesekali tetap ada yang terlihat fly oleh butir-butir pil sorga bahkan Mbah Sukri —baurekso poskamling—tetap sedal-sedul rokok dan ngopa-ngopi di poskamling depan surau.

Ramadhan di kampung Gus Hafid, tak ada pertanda apapun jika pintu langit sedang dibuka bersamaan Tuhan sedang mengobral karunia, rahmat dan ampunan. Warung-warung tetap buka sehingga banyak muslim yang perasaannya terluka meski hanya diam karena menutup warung secara paksa bisa berujung jeruji penjara.

Baca Juga :   Catwalk Idul Fitri

Kepala daerah yang nekat menetapkan perda larangan membuka warung siang hari, langsung dihantam isu SARA yang mengancam persatuan anak bangsa.

Umat Islam di kota Gus Hafid juga sudah begitu dewasa sikap kebangsaannya. Meski mayoritas, demi ketertiban umum mereka rela menghormati orang lain yang tidak sedang menjalankan ibadah puasa. Lakum dinukum wa liya din. Bagi saya agama saya, bagi Anda ya agama Anda, termasuk terhadap orang Islam yang belum iman atau saudara-saudara yang sudah bersahadat tapi belum mampu berpuasa!

Selepas tarawih yang dua puluh rakaat hanya diselesaikan dua puluh menitan itu, beberapa orang masih leyeh-leyeh di teras surau. Tidak ada tadarrus di surau karena segenap orang begitu arif. Tadarrus, secara swadaya ditiadakan karena takut mengganggu lingkungan. Polisi suara, katanya. Sedangkan acara nonton GP atau nonton bola, meski para tetangga terganggu suara teriakkan “gol” atau jagoannya melakukan manuver “wah”, dipersilakan.

Baca Juga :   Diduga Tak Layak Jalan, Truk Rombongan Tayub Terjun ke Jurang Selem Lumbang

“Bagaimana, lancar puasanya, cak?” tanya Gus Hafid kepada Cak Soleh.

“Lumayan, Gus.”

“Lho kok hanya lumayan?” sergah Gus Hafid seraya tersenyum.

“Lha bagaimana wong puasanya banyak godaan. Tiap hari marah-marah terus.”

“Lho?”

“Lha itu, anak-anak, setiap malam brang-breng balapan motor. Kalau tidak cekakaan ya main petasan sampai sahur.”

“Betul, Cak,” timpal Wak Sahlan. “Anak sekarang kok nggak mangsah aturan ya? Mau mengingatkan takut dilawan, dibiarkan malah ngicak-ngicak endas. Apa tidak mikir ya, malam-malam saat orang tidur kok umek begitu di poskamling?”

“Yo mbuh Wak Sahlan. Anak sekarang kok tidak seperti zaman dulu ya? Zaman saya anak-anak dulu, kalau Ramadhan begini surau ramai karena semua ngumpul. Pagi-pagi ikut ngaji khataman kitab kuning sama Mbah Yai Mahfud. Siang ke madrasah. Kalau madrasah libur ngaji kitab kuningnya ditambah. Habis duhur bersih-bersih surau atau ngangsu banyu padasan. Selesai bersih-bersih pergi ke kebon cari buah jambu buat bukohan. Selepas ashar ngabuburit, bocah laki-laki main meriam bumbung, bocah perempuan masak-masakan di gubuk.”

Baca Juga :   Mengenal Diano, Pak Camat Sukorejo yang Rocker

“Lho, sekarang kan masih ada anak-anak ngabuburit menjelang maghrib, Cak?” timpal Gus Hafid.

“Hmm, ya ada sih Gus, tapi caranya lain. Sekarang, yang namanya ngabuburit itu berboncengan laki-perempuan. Atau kalau tidak begitu ya balap motor di jalan kampung yang sudah mulus itu. Balapan pakai taruhan, kadang sampai jotosan karena ada yang curang, yang kalah melarikan diri tak mau bayar uang taruhan. Kadang jotosan rebutan gendakan. Kadang jotosan karena ada yang melempar petasan. Kadang jotosan karena saling blayer motor, yang tersinggung marah lalu memanggil kawannya dan tawuran massal.”