Fakultas Ekonomi Mikro

722

Saat tengar –tenger sendirian menunggu pelanggan di lapak potong rambutnya, Firman Murtadlo kedatangan tamu. Aziz, keponakannya.

“Kok njanur gunung, Le?” katanya, menyindir Aziz yang punya bakat menjadi politisi. Bukan karena keponakannya itu pembohong, namun karena punya budaya pribadi nyeleneh: gati kalau ada maunya.

“Mau rundingan, Lik” jawab Aziz.

“Rudingan soal apa?” kata Firman seraya menyorongkan kursi plastik yang biasanya disediakan untuk para pelanggan yang antri.

“Mau kuliah, bingung mau pilih jurusan.” Firman Murtadlo melongo mendengar penuturan kopanakannya.

“Kamu, mau kuliah?”

“Ya.”

“Nggak salah, Le?”

“Mau kuliah kok salah, Lik?”

“Ya, menurutku begitu, Lik saja menyesal dulu kuliah.” Sekarang Aziz yang melongo heran.

“Kalau tahu hanya jadi tukang cukur dan guru swasta begini, mendingan dulu Lik tidak usah kuliah. Lulus SMA langsung kerja di pabrik, bikin rumah, kredit motor dan kawin.”

“Waduh, Lik kok bilang begitu, sih? Saya ke sini mau minta pertimbangan mau ambil jurusan apa, kok Lik malah membuat saya semakin bingung? Saya sudah bulat ingin kuliah biar dapat pekerjaan yang baik setelah menjadi sarjana.”

“Lha, kalau kamu ingin sukses dalam karir, maka jawabannya jangan kuliah. Minta modal sama bapakmu, bikin usaha wiraswasta, tekuni, Lik jamin kamu akan jauh lebih sukses dari sarjana mana pun.” Aziz geleng-geleng kepala keheranan. Benar kata orang, Pak Liknya ini memang sedikit mengalami gangguan mental karena tekanan profesinya sebagai guru swasta.

“Begini, Le. Kamu boleh percaya boleh tidak, kalau kepingin sukses di bidang usaha, sebaiknya kamu tidak usah kuliah. Eman uang puluhan juta rupiah kamu gunakan untuk biaya kuliah yang belum jelas juntrungnya itu. Kuliah, memilih jurusan apapun tidak menjamin kesuksesan finansial karena kita hidup di Indonesia Raya. Sarjana sudah klemprakan dan kebanyakan menjadi pengangguran. Paling banter ya, menjadi aktivis amatiran, menjadi anggota NGO, mendirikan LSM atau ikut partai. Universitas manapun di kota ini belum mampu mencetak sarjana sejati yang memiliki keahlian sesuai faknya. Hanya gagah-gagahan gelar, pamer foto wisuda di ruang tamu atau petenteng kelek menjadi aktivis.”

“Tapi saya sudah mantap mau kuliah, Lik. Saya kesini hanya mau minta pertimbangan, enaknya masuk jurusan apa?”

“Okelah kalau begitu. Itu hakmu, dan ini negara demokrasi. Dalam pikiranmu kamu pingin ambil jurusan apa?”

“Teknik komputer.”

“Kenapa tertarik dengan jurusan itu?”

“Biar ahli komputer, kalau sudah begitu peluang kerja banyak.”

“Ya, paling banter jadi tukang servis komputer, Le. Kalau cuma kepingin bisa utak-atik komputer, ambil kursus juga banyak. Meguru sama Mbah Gugel juga sudah bisa jadi hacker kamu.”

“Kan bisa sekalian ngajar, Lik?”

“Demi Allah, Le, cukup Pak Lik mu ini saja yang menerima kutukan menjadi guru. Segenap lapisan masyarakat sudah sepakat memusuhi guru melebihi koruptor. Murid, wali murid, LSM, wartawan, penegak hukum, aparat, masyarakat, hingga menteri pendidikan semuanya sepakat memusuhi guru. Lihat berita di tv, koran, internet, bagaimana tragisnya nasib guru?”

“Lha terus bagaimana Pak Lik?”

“Jangan kuliah, biaya kuliahmu, kamu buat modal buka warung kopi di tengah kota, Pak Lik jamin kamu akan bisa umroh sebelum menikah.”