Sodo Lanang Ndaru Kelinting dan Banjir

2995

Begitu sodo lanang Ndaru Kelinting dicabut, mucratlah air dari bekas lubangnya di tanah. Lama-lama air membuncah, tak sampai beberapa saat, bumi berguncang hebat. Rengkah! Air muncrat dari rengkahan tanah itu seperti dituang dari laut Kidul. Maka tak lama setelah itu, seluruh daratan tergenang air. Semua tenggelam dan beberapa bulan kemudian, setelah air surut, rengkahan tanah itu terisi air dan orang menyebutnya Ranu.

Ada yang melihat Ndaru Klinting kembali menancapkan sodo lanang agar air tak menenggelamkan seluruh daratan. Karena bagaimanapun, tak semua mahluk Gusti Allah berdosa. Ndaru Kelinting sejatinya adalah sosok yang welas asih andai manusia tak keterlaluan. Ia memaafkan penduduk meski tubuhnya yang menyaru menjadi ular dipotong-potong menjadi empat puluh kerat di dusun Petang Puluh. Meski potongan-potongan itu dibakar beramai-ramai di dukuh Grati Tunon. Ia murka karena para penduduk menguir bocah —jelmaan dirinya—ketika meminta makan, padahal mereka berpesta daging ular jelmaan dirinya. Beberapa saat setelah menacapkan sodo lanang, Ndaru Kelinting berseru “jangan cabut sodo lanang ini, karena jika ada yang mencabutnya, aku tak bertanggung jawab kalau seluruh daratan Jawa tenggelam.”

Baca Juga :   Sudah Ada Jalan Alternatif, PPK Tol Paspro Tolak Tuntutan Warga Klampok

****

Beberapa abad kemudian, ketika sumpah Ndaru Kelinting hanya dianggap mitos, puluhan cangkul raksasa mengeruk perbukitan di dekat makam Mbah Ndaru Kelinting.

“Jangan-jangan mereka telah mencabut sodo lanang Mbah Ndaru Kelinting.” Gumam Kiai Bayhaki.

 

“Jika benar, celaka! Bertahun-tahun tak pernah terjadi banjir seperti ini. Jika benar, tanggul Ranu akan jebol, habislah semuanya.” Kiai Bayhaki resah. Gus Hafidz gemetar mendengarnya. Tapi Gus Hafidz mencoba meredam kekhawatirannya.

“Bumi sudah sepuh, kiai. Apalagi manusia juga suka kelewatan. Yang saya dengar, insya Allah Mbah Semendi sudah bernegoisasi dengan Mbah Ndaru Kelinting. Bahwa jika kelak di kemudian hari manusia khilaf dan tanpa sengaja mencabut sodo lanang, mohon dimaafkan.”

“Apa benar, gus?”

banjirpasuruan

“Insya Allah begitu. Ini mungkin, murni teguran buat kita. Bahwa bukit dan gunung-gunung jangan kita telan. Sebab andai seluruh daratan kita untal, seluruh air lautan kita minum, perut manusia takkan pernah kenyang.”

Baca Juga :   Jumlah DPK Berbeda, Sidang Pleno Diwarnai Hujan Protes

“Bukan hanya di sini orang mengeruk gunung, membabat hutan serta menyumbat sungai. Di selatan sana, orang sudah lama merobohkan gunung Abang. Tak peduli dengan sedulur-sedulur di kosmos yang lain. Sedulur-sedulur ghaib di gunung Abang sana mungkin juga telah berkompromi, tapi alam, mana bisa diajak berkompromi? Bukankah bumi, lautan, angin, binatang serta bebatuan sudah lama mohon izin untuk menghentikan manusia dengan murka mereka? Untungnya Gusti Allah masih tak tega. Belum mengizinkan bumi horek, angin melumat dan bebatuan nggelundung menimpa kita. Peredam murka itu bukan kita yang doyan makan, tidur dan bergumul dengan istri. Peredam murka Gusti itu adalah para manula yang sempoyongan untuk bertahajjud di ahir malam, bayi-bayi yang menyusu serta binatang melata yang mencari makan.”

Baca Juga :   Polisi Perketat Penjagaan, Kantor Walikota Pasuruan Steril

“Tapi gus, air Umbulan sudah menyusut. Alas Kronto, Puspo, Wonokitri sudah habis kita babat. Mata air kita bor agar muncrat lalu kita buang percuma ke selokan. Mata air kita jual kepada anak cucu Musa Samiri untuk dikemas dalam botol-botol plastik. Lalu sungai kita sumbat dengan popok-popok bayi, sampah, kasur, bangkai ternak serta apa saja. Apa ini tidak membuat para Mbahu Rekso marah?”

“Bisa saja. Tapi kan, mereka hidup di kosmos ghaib? Ini murni ulah kita dan akibatnya akan kembali kepada kita. Tiap orang memang sepakat untuk bergotong-royong merusak ekosistem. Orang bodoh membuang sampah ke sungai dan membikin sumur artesis demi kesenangan yang ganjil. Sementara orang-orang pintar merusak dengan jauh lebih gawat karena mereka memiliki segala alat serta kewenangan untuk melakukannya. Sementara para pemimpin yang diamanati Tuhan untuk mengendalikan itu semua, entah bagaimana belum juga punya niat baik menyembuhkan alam.”