Jalan Raya ‘Shirothol Mustaqim’

1250

“Shirothol mustaqim itu, ibarat sehelai rambut dibelah tujuh puluh kali tipisnya. Lebih tajam dari pisau cukur, dan terbentang di antara jurang neraka Jahannam.” Ujar Kiai Salim, sekitar dua puluh lima tahun lalu.

“Gelap, karena matahari sudah digulung dan api yang bergulung-gulung di neraka Jahannam menghitam karena dinyalakan entah sejak kapan.” Itu didengar Firman Murtado ketika ngaji di surau dulu. Anak-anak sekarang tak pernah lagi mendengar “dongeng” semacam itu karena selepas maghrib, mereka sudah pakai kolor.

Nongkrong di poskamling genjrang-genjreng gitar, misuh-misuh di warung game online atau mengheningkan cipta di depan gadget masing-masing. Surau sepi sejak TPQ berdiri di setiap kampung. Anak-anak mengaji sore hari. Umur tujuh tahun sudah khatam. Dan sejak saat itu mereka bebas berkeliaran selepas maghrib karena wewe gombel sudah pensiun, kalah ganas dengan memedi atau lelembut endas ireng.

Baca Juga :   Khofifah Sebut Masjid Chengho Pandaan Jadi Destinasi Wisata Unggulan Jatim

“Orang yang berjalan di atas Shiratal Mustaqim, jarang yang selamat.” Sambung Kiai Salim saat itu. “Dari satu juta orang yang melintas, hanya satu yang berhasil melewatinya. Itu pun tak jarang dengan kaki terputus karena tajamnya Shiratal Mustaqim. Tidak mau menyeberang, kita dipaksa. Menyeberang, taruhannya terjatuh ke jurang neraka Jahannam yang gelap, penuh api serta binatang berbisa. Andai masih bisa mati, pasti semua yang terjatuh akan langsung mati.”

“Shirotol Mustaqim sangat panjang. Jika ditempuh dengan perjalanan wajar berjalan kaki, baru sampai setelah tujuh ribu tahun.” Andai diceritakan kepada anak-anak sekarang, mungkin “dongeng-dongeng” seperti itu takkan masuk akal. Atau mereka malah membayangkan kawah tempat Frodo melemparkan cincin dalam film Lord of the Ring.

images (14)-650x500

Dan ahir-ahir ini, Firman Murtado seperti mengalami dejavu setiap kali melintas di jalan raya Raci-Bangil. Entah bagaimana, imajinasi Firman Murtado selalu sambung dengan cerita-cerita Kiai Salim itu setiap kali ia berkendara melintas di jalan tersebut. Wallahu a’lam, entah bagaimana nalarnya, di sosial media ia juga sering membaca postingan-postingan mengenai “Shiratal Mustaqim” yang terbentang antara Kraton hingga Bangil itu.

Baca Juga :   20 Orang Pendukung Prabowo Deklarasi di Taman Kota

“Sudah ratusan orang tergelincir dan bertemu dengan Izrail di jalan ini.” Tulis seorang netizen seraya menyertakan foto korban kecelakaan terbungkus kantung mayat.

“Jalur neraka, bacalah syahadat jika melintas di jalur ini. Biar kusnul khatimah jika berpapasan dengan malaikat maut.” Tulis netizen lainnya.

“Jajaran kaligrafi Asmaul Husna di sepanjang jalan ini adalah wirid anti kecelakaan. Dipasang sebagai antisipasi nasib buruk di jalur maut ini.” Tulis entah siapa seraya menyertakan foto kaligrafi Asmaul Husna.

Dan seperti cerita Kiai Salim, di kota ini ada “tiruan Shiratal Mustaqim”. Melewati jalur pantura Kraton-Bangil ibarat simulasi melintasi Shiratal Mustaqim. Kegelapannya, panjangnya, berbahayanya. Hampir mirip dengan yang digambarkan Kiai Salim. Tentu saja hanya ibarat. Tapi pas. Merepresentasikan betul meski sebatas dalam hayalan Firman Murtado yang liar.

Baca Juga :   Budayawan Kaji Karno Tutup Usia

Firman Murtado sendiri pernah gulung kuming di jalan ini. Ia tak pernah ugal-ugalan naik motor karena teknologi motor bututnya tak mendukung dan ia tak suka menyakiti hati pengendara lain dengan ugal-ugalan. Ia hendak menjual naskahnya ke penerbit Bina Aswaja milik pesantren Dalwa saat itu. Motor sudah melaju lambat, tapi lubang sebesar dan sedalam kawah Bromo mencelakainya. Ia terpental dari motor. Gulung kuming di aspal, dan ban truk hanya tiga jengkal dari kepalanya yang ia geletakkan di aspal. Ia sudah baca syahadat tiga kali, tapi Alhamdulillah belum waktunya.