Gundul Pacul, Wakul Glimpang

3071

“Ini dulur-dulur di warung ada yang punya cangkul, ta?” tanya Gus Hafidz kepada para peminum homer Jowo di warung Cak Manap.

“Buat apa gus?” tanya Wak Takrip.

“Mau pinjam buat nanam pisang, wak. Punya saya patah gagangnya.”

“Mboten nggadah, gus.” Kata Wak Takrip.

“Lho, sampeyan kan kerja di “dinas pertanian?” ujar Gus Hafidz heran.

“Sudah lama pensiun, gus. Sudah mboten kuat.”

“Sedulur lainnya mungkin ada yang punya?”

“Wong Wak Takrip saja tidak punya, apalagi kami, gus.” Sahut Cak Sudar.

Betul juga, batin Gus Hafidz. Jika buruh tani saja tak punya tak punya cangkul, apalagi yang bukan kuli tani? Wak Takrip yang mantan “profesor pertanian” sudah entah membuang kemana cangkulnya. Begitu pensiun sudah good bye sama cangkul. Apalagi yang sama sekali tak pernah bertani atau menjadi pegawai di “dinas pertanian”? Kalau ada anak sekaligus cucu seorang petani, tapi seumur hidup tak pernah pegang cangkul, itu tak aneh di negeri agraris ini. Semua orang tak mau melarat menjadi petani. Semua orang sekolah tinggi-tinggi agar terlepas dari kutukan sebagai petani. Tani adalah kenangan, pahit lagi. Jangan sampai anak cucu ikut melarat dengan menjadi petani. Sawah dijual kepada investor untuk dijadikan pabrik atau jalan tol. Uangnya dibelikan sepeda motor, tv, kulkas, renovasi rumah atau buat nyogok beli NIP. Buat biaya sekolah kedokteran biar nanti kaya dan tidak jadi petani.

Baca Juga :   Tukang Becak di Probolinggo Tewas di atas Becaknya

-dua-orang-petani

“Sampeyan kenapa repot-repot menanam pisang segala, gus. Di super market mau minta berapa?” ujar Mas Bambang.

“Lho, ini bukan masalah beli pisang, mas. Saya kepingin mengajari anak saya memegang cangkul biar tidak lupa terhadap nenek moyang kita.”

“Lha kalau ada yang mudah, kenapa meski cari yang ribet. Katanya agama mengajarkan begitu?” Mas Bambang berkilah.

“O, ini lain kasusnya, mas.” Firman Murtado langsung berkomentar.

“Bukannya agama meliputi berbagai bidang kehidupan?” Mas Bambang terpancing.

“Benar, tapi malas, apatis dan golek gampange di-warning sama agama.”

“Saya sudah lama sedih kalau mikir masa depan kita.” Sambung Gus Hafidz mengalihkan tema.

“Khawatir bagaimana, gus?” Wak Takrip nyaut.

“Ke depan ini siapa yang mau jadi petani? Padahal bidang pertanian ini berkaitan langsung dengan pangan. Kalau bicara soal pangan, kapan, dimana serta bagi siapa pun pasti masalah penting. Wong orang rela jual apa saja demi bisa makan, kok?”

Baca Juga :   Baru Bisa Nyetir Mobil, Nanang dan Putrinya Nyemplung ke Sungai

“Ah, tenang saja, gus. Kita kan bisa impor?” Mas Bambang menjawab.

“Lha kalau semua harus impor, bagaimana jadinya nanti? Mulai pesawat tempur sampai peniti kita sudah impor, mas. Kalau beras sampai impor—selurunya—kemelaratan apa lagi yang akan kita alami?” Gus Hafidz menerawang jauh.

“Dunia sudah di ambang krisis pangan. Perang dunia ketiga diramalkan dipicu rebutan sumber pangan, kita yang dikaruniai lahan subur malah menjualnya untuk digali, ditambang, dijadikan pabrik atau malah kafe dan bar. Bagaimana anak cucu kita?”

“Itu anak-anak muda kenapa banyak yang dendam sama outsourching, karena kita kurang bisa mengoptimalkan keunggulan khas bangsa kita –salah satunya—sebagai negara agraris. Biaya hidup makin mahal karena popok, susu, buang sampah, buang hajat hingga selfie butuh biaya. Lha kalau kita salah langkah mengelola kelebihan alam dan pengangguran makin mengerikan jumlahnya, wanita sewaan, bakul narkoba sampai pengepul ayam abu-abu akan makin membludak.”

Baca Juga :   Kembali Hijau, Bukit Telettubies Bromo Diburu Pengunjung

“Saya heran kenapa kita kok maksa menjadi negara industri padahal negara-negara gersang susah payah ingin menjadi negara agraris dan maritim? Kalau anak-anak muda mau jadi petani, pabrik takkan jual mahal, pengamen punah, begal berkurang, NIP murah, agen narkoba bingung mencari tengkulak, janda berkurang karena –mungkin—angka perceraian akibat masalah ekonomi berkurang.”